Shalat Jumat di Jalan

Assalamu‘alaikum wr wb,

Mengenai tempat pelaksanaan shalat Jumat, para fuqaha’ berbeda pendapat sebagai berikut:

Para fuqaha’ Malikiyyah (ulama ahli fiqih pengikut madzhab Malikiy) berpendapat, bahwa shalat Jumat hanya boleh dan sah jika dilaksanakan di masjid, karena Rasulullah SAW dan para sahabat selalu melaksanakan shalat Jumat di masjid Nabawiy dan tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan bahwa Beliau SAW pernah melaksanakan shalat Jumat tidak di masjid. Status riwayat ini adalah mutawaatir (aklamatif), tidak seorang pun yang menyanggahnya. Ibnu Rusyd (w. 594 H) dari kalangan madzhab Malikiy, menyatakan: ”Tidak sah pelaksanaan shalat Jumat di selain masjid”.

Tetapi jumhuur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih) dalam hal ini Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa shalat Jumat tidak mutlak harus dilaksanakan di masjid. Memang lebih utama dilaksanakan di masjid, tetapi dalam keadaan dan pertimbangan tertentu, boleh dilaksanakan di luar masjid. Hal ini didasarkan pada keumuman  hadis tentang Jumatan, yang hanya meyebutkan *”secara berjamaah”* dan tidak menentukan tempatnya secara eksplisit, sebagaimana hadis: “Shalat Jumat itu wajib bagi setiap pribadi muslim secara berjamaah…” (HR Abu Dawud dari Thariq bin Syihab RA). Juga berdasar sejarah shalat Jumat yang pertama kali dilaksanakan oleh Mus’ab bin Umair dan kaum muslimin di Madinah atas perintah Nabi SAW sebelum beliau hijrah (HR ad-Daruquthniy dari Ibnu Abbas RA).

Waktu itu di Madinah belum ada masjid, sehingga shalat Jumat pasti tidak dilaksanakan di dalam masjid.

Berikut pernyataan para fuqaha’ terkenal dalam madzhab jumhuur, antara lain:

Ibnu Qudamah (w. 620 H) fuqaha’ terkenal dari madzhab Hanbaliy menyatakan: ”Tidak disyaratkan bagi sahnya shalat Jumat itu harus di antara bangunan, melainkan boleh dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini adalah juga pendapat imam Abu Hanifah” (al-Mughniy 2/171).

Imam an-Nawawiy (w. 676 H) tokoh fuqaha’ Syafi’iyyah menyatakan: ”Para fuqaha’ madzhab Syafi’iy berpendapat, bahwa mendirikan shalat Jumat tidak disyaratkan harus di masjid, melainkan boleh di tempat terbuka asalkan tempat tersebut masih dalam wilayah desa atau kota yang bersangkutan” (al-Majmuu’ 4/501).

Zainuddin al-Iraqiy (w. 806 H) juga dari kalangan Syafi’iyyah mengatakan: ”Madzhab kami berpendapat, bahwa pelaksanaan shalat Jumat tidak harus di masjid, melainkan bisa dilaksanakan di semua lokasi yang tertutup bangunan” (at-Tatsriib 4/90).

Berdasarkan paparan pendapat fuqaha’ jumhuur tersebut dapat difahami, bahwa shalat Jumat di jalan itu diperbolehkan dan sah, asalkan ada pertimbangan yang dapat dibenarkan secara syar’iy (ajaran Islam), antara lain: masjid yang ada di sekitar tidak mencukupi, tidak menimbulkan gangguan, dan ada kebutuhan urgen yang mengharuskan dilaksanakannya shalat Jumat di jalan.

Memang lazimnya jalan itu untuk lalu-lintas, bukan untuk shalat, bahkan duduk-duduk di jalanan pun dilarang. Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): ”Hindari duduk-duduk di jalanan”. Para sahabat berkata: ”Kami tidak ada pilihan lain, inilah tempat kami ngobrol”. Beliau bersabda: ”Kalau begitu, berilah hak jalan”. Mereka bertanya: ”Apa hak jalan itu?” Beliau menjawab: ”Menahan pandangan, tidak menyakiti/mengganggu orang, menjawab salam, amar ma’ruf dan nahi mungkar” (HR al-Bukhariy, Muslim dan lain-lain dari Abi Sa’id al-Khudriy RA).

Tetapi dalam kondisi kebutuhan urgen, maka shalat Jumat di jalan diperbolehkan. Dalam kaidah ushul fiqih dinyatakan: “Al-ḥājah tanzilu manzilataḍ ḍarūrati” (kebutuhan mendesak itu dapat menduduki posisi darurat), sedangkan keadaan darurat itu membolehkan yang mestinya tidak boleh, “Aḍ-ḍarūrātu tubīḥul maḥẓūrāt” (keadaan darurat itu dapat menyebabkan dibolehkannya sesuatu yang semula dilarang).

Pada masa lalu juga pernah terjadi shalat Jumat tidak di masjid, melainkan di tempat terbuka, bahkan di jalan.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abu Harairah RA, bahwa kaum muslimin pernah menulis surat pada khalifah Umar RA, menanyakan tentang shalat Jumat. Maka beliau RA membalas surat mereka (yang isinya): ”Lakukanlah shalat Jumat di mana saja kalian berada” (Atsar ini shahih).

Pada tahun 1453 M, dalam penaklukan kekaisaran Byzantium (Romawi Timur), sultan Muhammad al-Fatih (sultan ke 7 Kesultanan Turki Utsmaniy) pernah melaksanakan shalat Jumat di jalan menuju Konstantinopel bersama ribuan pasukannya yang membentang kira-kira sepanjang 4 km. (Sejarah Penaklukan Konstantinopel).

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa terlepas dari adanya perbedaan pendapat, shalat Jumat di jalan itu diperbolehkan dan sah, walau jika dilaksanakan di masjid tentu lebih utama.

Wallaahu a’lam

Wassalamu’alaikum wr wb,

ttd.

Ahmad Zahro (Ketum PP IPIM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *