Soal Puasa, Potong Kuku dan Rambut pada Awal Dzulhijjah

Assalamualaikum wr wb,

Hari-hari ini ada 2 masalah yang paling banyak ditanyakan oleh umat. Mereka bingung karena banyaknya postingan yang berbenturan.

Oleh karena itu PP IPIM (Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Imam Masjid) merasa perlu untuk memberi penjelasan singkat sebagai berikut:

  1. Soal puasa tgl 1-8 Dzulchijjah (23-30 Agustus 2017), itu termasuk puasa bulan-bulan haram (اشهر الحرم), hukumnya sunnah dan bagus, berdasar hadis shahih Muslim dll. Sedang puasa tgl 9 Dzulchijjah (31 Agustus 2017) sudah amat masyhur, sbg puasa Arafah. Untuk tgl 10-13 Dzulchijjah (1-4 September 2017) diharamkan berpuasa (krn hari Nachar dan hari Tasyriiq).

 

  1. Mengenai larangan memotong rambut dan kuku mulai tgl 1-9 Dzulchijjah, para fuqaha’ berbeda pendapat sbb:
  • menurut jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih), larangn itu bukan berakibat hukum haram melainkan makruh saja. Bahkan menurut fuqaha’ Hanafiyyah memotong rambut dan kuku tsb hukumnya mubach (boleh), bukan makruh, apalagi haram.
  • ada fuqaha’ yang berpendapat, bahwa yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku orang yang akan berqurban.
  • banyak pula yang berpendapat, bahwa yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku hewan qurban.

Demikian, semoga umat menjadi tenang dalam beribadah dan tidak terganggu lagi dengan postingan2 yang berlawanan.

Lebih jelas bisa dibaca buku FIQIH KONTEMPORER (oleh Ahmad Zahro)

Terimakasih dan mohon maaf. Semoga bermanfaat…aamiin.

Wassalamualaikum wr wb,

Ahmad Zahro
Ketum PP IPIM

http://www.youtube.com/c/azahroofficial

Shalat Jumat di Jalan

Assalamu‘alaikum wr wb,

Mengenai tempat pelaksanaan shalat Jumat, para fuqaha’ berbeda pendapat sebagai berikut:

Para fuqaha’ Malikiyyah (ulama ahli fiqih pengikut madzhab Malikiy) berpendapat, bahwa shalat Jumat hanya boleh dan sah jika dilaksanakan di masjid, karena Rasulullah SAW dan para sahabat selalu melaksanakan shalat Jumat di masjid Nabawiy dan tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan bahwa Beliau SAW pernah melaksanakan shalat Jumat tidak di masjid. Status riwayat ini adalah mutawaatir (aklamatif), tidak seorang pun yang menyanggahnya. Ibnu Rusyd (w. 594 H) dari kalangan madzhab Malikiy, menyatakan: ”Tidak sah pelaksanaan shalat Jumat di selain masjid”.

Tetapi jumhuur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih) dalam hal ini Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa shalat Jumat tidak mutlak harus dilaksanakan di masjid. Memang lebih utama dilaksanakan di masjid, tetapi dalam keadaan dan pertimbangan tertentu, boleh dilaksanakan di luar masjid. Hal ini didasarkan pada keumuman  hadis tentang Jumatan, yang hanya meyebutkan *”secara berjamaah”* dan tidak menentukan tempatnya secara eksplisit, sebagaimana hadis: “Shalat Jumat itu wajib bagi setiap pribadi muslim secara berjamaah…” (HR Abu Dawud dari Thariq bin Syihab RA). Juga berdasar sejarah shalat Jumat yang pertama kali dilaksanakan oleh Mus’ab bin Umair dan kaum muslimin di Madinah atas perintah Nabi SAW sebelum beliau hijrah (HR ad-Daruquthniy dari Ibnu Abbas RA).

Waktu itu di Madinah belum ada masjid, sehingga shalat Jumat pasti tidak dilaksanakan di dalam masjid.

Berikut pernyataan para fuqaha’ terkenal dalam madzhab jumhuur, antara lain:

Ibnu Qudamah (w. 620 H) fuqaha’ terkenal dari madzhab Hanbaliy menyatakan: ”Tidak disyaratkan bagi sahnya shalat Jumat itu harus di antara bangunan, melainkan boleh dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini adalah juga pendapat imam Abu Hanifah” (al-Mughniy 2/171).

Imam an-Nawawiy (w. 676 H) tokoh fuqaha’ Syafi’iyyah menyatakan: ”Para fuqaha’ madzhab Syafi’iy berpendapat, bahwa mendirikan shalat Jumat tidak disyaratkan harus di masjid, melainkan boleh di tempat terbuka asalkan tempat tersebut masih dalam wilayah desa atau kota yang bersangkutan” (al-Majmuu’ 4/501).

Zainuddin al-Iraqiy (w. 806 H) juga dari kalangan Syafi’iyyah mengatakan: ”Madzhab kami berpendapat, bahwa pelaksanaan shalat Jumat tidak harus di masjid, melainkan bisa dilaksanakan di semua lokasi yang tertutup bangunan” (at-Tatsriib 4/90).

Berdasarkan paparan pendapat fuqaha’ jumhuur tersebut dapat difahami, bahwa shalat Jumat di jalan itu diperbolehkan dan sah, asalkan ada pertimbangan yang dapat dibenarkan secara syar’iy (ajaran Islam), antara lain: masjid yang ada di sekitar tidak mencukupi, tidak menimbulkan gangguan, dan ada kebutuhan urgen yang mengharuskan dilaksanakannya shalat Jumat di jalan.

Memang lazimnya jalan itu untuk lalu-lintas, bukan untuk shalat, bahkan duduk-duduk di jalanan pun dilarang. Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): ”Hindari duduk-duduk di jalanan”. Para sahabat berkata: ”Kami tidak ada pilihan lain, inilah tempat kami ngobrol”. Beliau bersabda: ”Kalau begitu, berilah hak jalan”. Mereka bertanya: ”Apa hak jalan itu?” Beliau menjawab: ”Menahan pandangan, tidak menyakiti/mengganggu orang, menjawab salam, amar ma’ruf dan nahi mungkar” (HR al-Bukhariy, Muslim dan lain-lain dari Abi Sa’id al-Khudriy RA).

Tetapi dalam kondisi kebutuhan urgen, maka shalat Jumat di jalan diperbolehkan. Dalam kaidah ushul fiqih dinyatakan: “Al-ḥājah tanzilu manzilataḍ ḍarūrati” (kebutuhan mendesak itu dapat menduduki posisi darurat), sedangkan keadaan darurat itu membolehkan yang mestinya tidak boleh, “Aḍ-ḍarūrātu tubīḥul maḥẓūrāt” (keadaan darurat itu dapat menyebabkan dibolehkannya sesuatu yang semula dilarang).

Pada masa lalu juga pernah terjadi shalat Jumat tidak di masjid, melainkan di tempat terbuka, bahkan di jalan.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abu Harairah RA, bahwa kaum muslimin pernah menulis surat pada khalifah Umar RA, menanyakan tentang shalat Jumat. Maka beliau RA membalas surat mereka (yang isinya): ”Lakukanlah shalat Jumat di mana saja kalian berada” (Atsar ini shahih).

Pada tahun 1453 M, dalam penaklukan kekaisaran Byzantium (Romawi Timur), sultan Muhammad al-Fatih (sultan ke 7 Kesultanan Turki Utsmaniy) pernah melaksanakan shalat Jumat di jalan menuju Konstantinopel bersama ribuan pasukannya yang membentang kira-kira sepanjang 4 km. (Sejarah Penaklukan Konstantinopel).

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa terlepas dari adanya perbedaan pendapat, shalat Jumat di jalan itu diperbolehkan dan sah, walau jika dilaksanakan di masjid tentu lebih utama.

Wallaahu a’lam

Wassalamu’alaikum wr wb,

ttd.

Ahmad Zahro (Ketum PP IPIM)

Bagaimana Hukum Jual Beli Online?

Sahabat Qaf atau Qafren yang budiman, masalah jual beli via online (internet) ini benar-benar merupakan masalah fiqih kontemporer yang belum pernah dibahas dalam kitab-kitab fiqih klasik. Oleh karena itu, dalam paparan ini sedapat mungkin saya akan berusaha mengaitkannya dengan item-item jual beli yang ada di kitab-kitab fiqih, terkait dengan ketentuan pokok atau lazim disebut rukun dan syarat jual beli.

Ada beberapa ketentuan pokok (rukun dan syarat) jual beli, yaitu:

(1). Menurut mazhab Hanafi, rukun jual beli itu hanya satu, yaitu akad saling rela antara mereka (‘an taradhin) yang terwujud dalam ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Selain akad, mazhab Hanafi menyebutnya sebagai syarat.

(2). Sedang menurut jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama fiqih), rukun jual beli itu adalah: a. Penjual dan pembeli. b. Ijab dan qabul. c. Ada barang yang dibeli. d. Ada nilai tukar (harga).

Adapun syarat jual beli yang terpokok adalah: orang yang berakad berakal sehat, barang yang diperjual belikan ada manfaatnya, barang yang diperjual belikan ada pemiliknya, dalam transaksi jual beli tidak terjadi manipulasi atau penipuan.

Nah, berdasarkan paparan di atas, dapat dibawa ke permasalahan pokok kali ini, yaitu jual beli melalui online (internet) yang sebenarnya juga termasuk jual beli via telepon, sms dan alat telekomunikasi lainnya, maka marka yang terpenting adalah: Ada barang yang diperjual belikan, halal dan jelas pemiliknya, sebagaimana hadis Nabi (yang maknanya): ”Tidak sah jual beli kecuali sesuatu yang dimiliki seseorang” (HR. at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Ada harga wajar yang disepakati kedua belah pihak (penjual dan pembeli), Tidak ada unsur manipulasi atau penipuan dalam transaksi (HR. al-Bukhari dan Muslim) Prosedur transaksinya benar, diketahui dan saling rela antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli), sebagaimana makna firman Allah Swt.: “… kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara saling rela di antara kamu…” (an-Nisa’ ayat 29).

Jika empat marka tersebut terpenuhi, maka sebenarnya jual-beli dengan cara apa pun tidak ada masalah, tetap sah dan diperbolehkan. Apalagi jika suatu jenis transaksi itu sudah menjadi kebiasaan, walau menurut orang lain aneh, maka secara fiqih tetap sah dan boleh. Dapat diambil contoh:

Di desa-desa sudah biasa orang yang ke warung itu mengambil dan makan jajan sesuai kemauannya. Baru kemudian ketika akan membayar, si pembeli memberitahu pemilik warung bahwa dia mengambil ini-itu sejumlah sekian. Jadi, andaikata dia berbohong maka pemilik warung tidak akan tahu. Keadaan demikian berlangsung sejak dulu sampai sekarang dan tidak diketahui ada ulama yang keberatan.

Di sebagian suku Dayak ada kebiasaan menjual hasil panenan dengan cara menaruhnya di pinggir jalan tanpa ditunggui pemiliknya. Jika ada orang yang berminat maka dia cukup menaruh barang yang lain miliknya sebagai barter (sekarang sudah ada yang pakai uang) dan mengambil barang yang diminati tersebut sepantasnya. Ini benar-benar transaksi atas dasar “trust” (kejujuran) yang luar biasa. Sampai sekarang juga belum diketahui ada ulama yang keberatan dengan model transaksi demikian.

Malah menurut saya andai transaksi jual beli model ini dibudayakan maka akan mendidik masyarakat untuk bermental dan berlaku jujur. Agaknya “Warung Kejujuran” versi KPK terinspirasi dari transaksi jual beli model ini, walau ternyata warung ini merugi terus: dan ini mengisyaratkan bahwa kejujuran masyarakat kita belum teruji.

Dalam perspektif Ushul Fiqih, sepanjang hal-hal itu terkait dengan muamalah ijtima’iyyah (transaksi sosial kemasyarakatan) maka dapat disandarkan pada kaidah-kaidah berikut: Alâdah muhakkamah (tepatnya al-urf muhkam, sebab ’urf itu mesti kebiasaan yang baik, sedang ‘âdah itu bisa berupa kebiasaan yang baik tapi bisa pula kebiasaan yang buruk), yakni kebiasaan yang baik itu dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk menetapkan hukum.

Al-Ashlu fil asy-yâ’ al-ibâhah hattâ yadullad dalîlu ‘alat tahrîm, yakni pada dasarnya segala sesuatu itu hukum-nya boleh sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya. Berpijak dari landasan kaidah fiqhiyyah tersebut, maka jual beli lewat online (internet) itu diperbolehkan, dan sah, kecuali jika secara kasuistis terjadi penyimpangan, manipulasi, penipuan dan sejenisnya, maka secara kasuistis pula hukumnya diterapkan, yaitu haram. Tetapi kasus tertentu menurut saya tidak dapat dijadikan menjeneralisir sesuatu yang secara normal positif, boleh dan halal. Oleh karena itu, jika ada masalah terkait ketaksesuaian barang antara yang ditawarkan dan dibayar dengan yang diterima, maka berlaku hukum transaksi pada umumnya, bagaimana kesepakatan yang telah terjalin. Inilah salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab batalnya transaksi jual beli dan dapat menjadi salah satu penyebab haramnya jual beli, baik online atau bukan, karena adanya/terjadinya manipulasi atau penipuan. Wallâhu a’lam.

Wassalam,

Prof. Dr. K.H. Ahmad Zahro, M.A.

Penulis buku Fiqih Kontemporer