Sahabat Qaf atau Qafren yang budiman, masalah jual beli via online (internet) ini benar-benar merupakan masalah fiqih kontemporer yang belum pernah dibahas dalam kitab-kitab fiqih klasik. Oleh karena itu, dalam paparan ini sedapat mungkin saya akan berusaha mengaitkannya dengan item-item jual beli yang ada di kitab-kitab fiqih, terkait dengan ketentuan pokok atau lazim disebut rukun dan syarat jual beli.
Ada beberapa ketentuan pokok (rukun dan syarat) jual beli, yaitu:
(1). Menurut mazhab Hanafi, rukun jual beli itu hanya satu, yaitu akad saling rela antara mereka (‘an taradhin) yang terwujud dalam ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Selain akad, mazhab Hanafi menyebutnya sebagai syarat.
(2). Sedang menurut jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama fiqih), rukun jual beli itu adalah: a. Penjual dan pembeli. b. Ijab dan qabul. c. Ada barang yang dibeli. d. Ada nilai tukar (harga).
Adapun syarat jual beli yang terpokok adalah: orang yang berakad berakal sehat, barang yang diperjual belikan ada manfaatnya, barang yang diperjual belikan ada pemiliknya, dalam transaksi jual beli tidak terjadi manipulasi atau penipuan.
Nah, berdasarkan paparan di atas, dapat dibawa ke permasalahan pokok kali ini, yaitu jual beli melalui online (internet) yang sebenarnya juga termasuk jual beli via telepon, sms dan alat telekomunikasi lainnya, maka marka yang terpenting adalah: Ada barang yang diperjual belikan, halal dan jelas pemiliknya, sebagaimana hadis Nabi (yang maknanya): ”Tidak sah jual beli kecuali sesuatu yang dimiliki seseorang” (HR. at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
Ada harga wajar yang disepakati kedua belah pihak (penjual dan pembeli), Tidak ada unsur manipulasi atau penipuan dalam transaksi (HR. al-Bukhari dan Muslim) Prosedur transaksinya benar, diketahui dan saling rela antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli), sebagaimana makna firman Allah Swt.: “… kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara saling rela di antara kamu…” (an-Nisa’ ayat 29).
Jika empat marka tersebut terpenuhi, maka sebenarnya jual-beli dengan cara apa pun tidak ada masalah, tetap sah dan diperbolehkan. Apalagi jika suatu jenis transaksi itu sudah menjadi kebiasaan, walau menurut orang lain aneh, maka secara fiqih tetap sah dan boleh. Dapat diambil contoh:
Di desa-desa sudah biasa orang yang ke warung itu mengambil dan makan jajan sesuai kemauannya. Baru kemudian ketika akan membayar, si pembeli memberitahu pemilik warung bahwa dia mengambil ini-itu sejumlah sekian. Jadi, andaikata dia berbohong maka pemilik warung tidak akan tahu. Keadaan demikian berlangsung sejak dulu sampai sekarang dan tidak diketahui ada ulama yang keberatan.
Di sebagian suku Dayak ada kebiasaan menjual hasil panenan dengan cara menaruhnya di pinggir jalan tanpa ditunggui pemiliknya. Jika ada orang yang berminat maka dia cukup menaruh barang yang lain miliknya sebagai barter (sekarang sudah ada yang pakai uang) dan mengambil barang yang diminati tersebut sepantasnya. Ini benar-benar transaksi atas dasar “trust” (kejujuran) yang luar biasa. Sampai sekarang juga belum diketahui ada ulama yang keberatan dengan model transaksi demikian.
Malah menurut saya andai transaksi jual beli model ini dibudayakan maka akan mendidik masyarakat untuk bermental dan berlaku jujur. Agaknya “Warung Kejujuran” versi KPK terinspirasi dari transaksi jual beli model ini, walau ternyata warung ini merugi terus: dan ini mengisyaratkan bahwa kejujuran masyarakat kita belum teruji.
Dalam perspektif Ushul Fiqih, sepanjang hal-hal itu terkait dengan muamalah ijtima’iyyah (transaksi sosial kemasyarakatan) maka dapat disandarkan pada kaidah-kaidah berikut: Al–‘âdah muhakkamah (tepatnya al-‘urf muhkam, sebab ’urf itu mesti kebiasaan yang baik, sedang ‘âdah itu bisa berupa kebiasaan yang baik tapi bisa pula kebiasaan yang buruk), yakni kebiasaan yang baik itu dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk menetapkan hukum.
Al-Ashlu fil asy-yâ’ al-ibâhah hattâ yadullad dalîlu ‘alat tahrîm, yakni pada dasarnya segala sesuatu itu hukum-nya boleh sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya. Berpijak dari landasan kaidah fiqhiyyah tersebut, maka jual beli lewat online (internet) itu diperbolehkan, dan sah, kecuali jika secara kasuistis terjadi penyimpangan, manipulasi, penipuan dan sejenisnya, maka secara kasuistis pula hukumnya diterapkan, yaitu haram. Tetapi kasus tertentu menurut saya tidak dapat dijadikan menjeneralisir sesuatu yang secara normal positif, boleh dan halal. Oleh karena itu, jika ada masalah terkait ketaksesuaian barang antara yang ditawarkan dan dibayar dengan yang diterima, maka berlaku hukum transaksi pada umumnya, bagaimana kesepakatan yang telah terjalin. Inilah salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab batalnya transaksi jual beli dan dapat menjadi salah satu penyebab haramnya jual beli, baik online atau bukan, karena adanya/terjadinya manipulasi atau penipuan. Wallâhu a’lam.
Wassalam,
Prof. Dr. K.H. Ahmad Zahro, M.A.
Penulis buku Fiqih Kontemporer