Taufiq dan Hidayah

Kita sering dengar orang berdoa, “Semoga mendapatkan taufik dan hidayah.” Apa arti dan beda kedua kata populer ini?

Kata “hidayah” dengan berbagai derivasinya disebutkan sekitar 317 kali dalam Al-Qur’an.

Pada dasarnya, kata ini mempunyai arti “memberitahukan kepada orang lain, memberikan bimbingan dan petunjuk kepada orang lain dengan santun dan lemah lembut demi mencapai satu tujuan, menghilangkan kebingungan”.

Memberikan petunjuk kepada orang lain baik berupa hal-hal yang hissiyyâh (material) seperti memberi tahu tentang satu jalan yang harus ditempuh atau juga dalam bidang ma‘nawiyyah seperti memberi bimbingan kepada orang lain tentang suatu kebenaran (Lih. Mu‘jam Alfâzh Al-Qur’ân, Mesir, Dar asy-Syuruq).

Semua arti “hidayah” mempunyai konotasi positif yaitu memberikan petunjuk kepada hal-hal yang baik dan benar. Dengan demikian, fungsi Al-Qur’an sebagai kitab hidayah harus dilihat dari kacamata yang positif ini. Baca ayat 2 surah Thaha bahwa Al-Qur’an diturunkan bukan untuk mencelakakan seseorang, melainkan hanya memberikan peringatan bagi orang yang takut kepada Allah.

Secara garis besar, hidayah dalam Al-Qur’an terbagi dua bagian: [1] dalam arti “irsyâd” yaitu petunjuk kepada jalan lurus yang berupa tuntunan, bimbingan, dan peringatan, seperti nilai-nilai yang baik dan benar sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an yang kemudian ditindaklanjuti dalam hadis-hadis Nabi. Hidayah seperti ini bisa dilakukan oleh para nabi, ulama, dan para pencerah lainnya.

[2] dengan arti “taufîq” dan “i‘ânah” atau pertolongan dan kasih sayang Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya untuk bisa menerima kebenaran. Hidayah seperti ini hanya milik Allah semata.

‘Ibrah dan I‘tibâr

Tak satu pun dari peristiwa yang mengitari kita terlepas dari i‘tibâr. I‘tibâr berasal dari kata ‘ibr atau ‘ibrah, yang bermakna “jembatan penyeberangan”. Jadi, i‘tibâr bermakna “menjadikan sesuatu sebagai penyeberangan”. Jika peristiwa-peristiwa yang kita hadapi disebut sebagai i‘tibâr, maka peristiwa itu merupakan media yang menyampaikan kita kepada suatu pengetahuan, sehingga kita paham terhadap makna yang ada di balik peristiwa itu.

Kita sering menganggap sesuatu itu buruk, padahal dia tak lebih hanya sebagai i‘tibâr bagi kita agar kita memahami apa yang ada di balik itu. Misalnya, rasa sakit yang kita rasakan di kepala. Rasa sakit itu adalah i‘tibâr, karena dia adalah sebagai media yang menyampaikan kepada kita bahwa telah terjadi suatu kelainan pada kepala kita, sehingga kita berusaha untuk mengobatinya supaya sembuh. Laksana jarum-jarum petunjuk pada mobil yang berfungsi memberitahukan kepada pengemudi volume bahan bakar, oli, air, dan sebagainya.

Jadi, segala peristiwa yang mengitari kita merupakan isyarat bahwa ada suatu kelainan pada diri kita. Benarlah apa yang dikatakan oleh Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabî, sufi abad ke-7 H, bahwa manusia adalah miniatur jagat besar (makrokosmos) ini. Segala kualitas yang ada pada alam raya terdapat pula pada manusia. Oleh sebab itu, jika terdapat suatu kelainan pada diri manusia, dia akan cepat-cepat tahu melalui isyarat dari alam raya. Orang yang paling sukses adalah orang yang paling mengerti tentang isyarat itu. Akan tetapi, isyarat itu hanya dipahami oleh orang yang memiliki ketajaman mata hati dan ketajaman nalar.

Segala ibadah yang kita lakukan bertujuan untuk menjadikan kita orang bertakwa. Tentang puasa misalnya, Allah menegaskan:

Hai orang-orang yang beriman, difardhukan atas kamu melaksanakan puasa sebagaimana difardhukan atas orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa (al-Baqarah [2]: 183).

Dengan ketakwaan, kita akan mendapatkan kecerahan mata batin kita. Lalu, dengan mata hati yang tercerahkan itu kita mampu menjadikan segala sesuatu yang mengitari kita sebagai i‘tibâr, dapat membedakan yang benar dari yang batil dan yang baik dari yang buruk.

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberimu furqân dan menghapus segala kesalahanmu (al-Baqarah [2]: 183).

Yang dimaksud dengan furqân dalam ayat di atas—menurut ahli tafsir, al-Thabarî—ialah ketajaman dan kecerahan batin, sehingga seseorang mampu melihat yang benar itu benar dan yang salah itu salah, yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk.

Tanpa ketajaman dan kecerahan batin, kita tidak pernah dapat memetik i‘tibâr dari apa yang kita alami. Dalam dunia iptek yang serba canggih dewasa ini, kita sering berbangga dengan penemuan-penemuan mutakhir, kita berbangga dengan akal atau intelek. Memang akal memiliki kemampuan untuk menalar, berargumentasi, dan menarik kesimpulan. Akan tetapi, daya akal tidak dapat bekerja dengan baik tanpa kejernihan kalbu. Kita lihat sekarang, negeri yang kita cintai ini memiliki jutaan sarjana dan pemikir dalam berbagai bidang pengetahuan, tetapi tak banyak yang dapat memberikan solusi atas krisis yang sedang kita hadapi. Yang ramai adalah saling menyalahkan dan saling menjatuhkan. Ini tidak lain adalah karena kegelapan mata hati kita.

[Prof. Yunasril Ali]

Makar dan Kayd

Dalam Al-Qur’an terdapat dua kata yang diterjemahkan sama oleh banyak orang, “menipu daya”, yaitu kata مَكَرَ dan كادَ . Tidaklah mungkin dua kata yang berbeda diterjemahkan sama, karena konsepnya berbeda. Kata مَكَر konsepnya adalah “merencanakan secara rahasia upaya-upaya untuk tujuan mengalahkan”, seperti dalam Q. 8:30. Sedangkan كادَ adalah “merekayasa, memanipulasi, dan memolitiki sehingga yang menjadi korban rekayasa terjebak dan kalah”, seperti dalam Q. 12:5
Jadi, كادَ ‘merekayasa’ adalah implementasi dari مَكَر (merencanakan penjatuhan).

Istiqamah

Kata istiqamah berasal dari akar kata qaama-yaquumu-qiyaman, yang artinya tegak berdiri dan lurus. Kata ini kemudian ditambah kata ista, yang kemudian menjadi istiqamah, yang dalam kaidah bahasa Arab tambahan ista berarti ada unsur permohonan atau permintaan. Jadi dari segi bahasa, istiqamah artinya permintaan untuk selalu tegak berdiri atau lurus dalam melakukan sesuatu.

 

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ. نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’ Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.” (Surat Fushilat 41 ayat 30-31)

 

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ.

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Surat Huud 11 ayat 112)

 

Adapun dari hadis Rasulullah, ada beberapa riwayat yang berbicara tentang istiqamah, di antaranya:

”Di dalam Sahih Muslim disebutkan dari Sufyan bin Abdullah, dia berkata, Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam, sehingga aku tidak lagi bertanya lagi kepada seseorang selain Engkau.’ Rasulullah menjawab, ‘katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.’”

“Diriwayatkan dari Tsauban, bekas budak Rasulullah, mengatakan bahwa Rasul Bersabda: ‘Beristiqamahlah kamu, meskipun kamu tidak akan mampu melakukan sepenuhnya.’”
“Diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasul bersabda: Amalan yang paling disukai oleh Allah ialah yang istiqamah meskipun sedikit.”

Semoga kita bisa melakukan kebaikan secara istiqamah, sekecil apa pun kebaikan itu… Aamiin…

 

[KH Mukhlisin Aziez, MA]

 

Qawlan Layyinan

Dikisahkan, ada seorang kiai penceramah hebat. Suaranya lantang. Orasinya memukau jamaah. Cirinya, kalau ada penjabat yang hadir, telinganya akan merah. Itu akibat tajamnya kritik yang dilontarkan dengan kata-kata pedas di setiap ceramahnya.

Suatu ketika, setelah kiai itu selesai berceramah, seorang pejabat mendekati sang kiai. Terjadilah dialog di antara mereka.

“Pak Kiai, sampean mengenal Nabi Musa?”

“Tentu saja. Dia salah satu rasul yang dijuluki kalimullah.”

“Lebih mulia mana antara Nabi Musa dengan sampean?”

“Jelas lebih mulia Nabi Musa. Bukan hanya nabi, tapi beliau juga rasul. Bukan hanya rasul, tapi termasuk rasul ulul azmi.”

“Sampean tahu musuh Nabi Musa, Pak Kiai?”

“Ya, tahu. Fir‘aun.”

“Jelek mana saya dan Fir’aun, Pak Kiai?

“Sampean memang pejabat sangat bejat, tapi Fir’aun pasti lebih bejat lagi. Dia kejam dan angkuh, bahkan ngaku-ngaku Tuhan segala.”

“Kalau Nabi Musa lebih mulia daripada sampean dan Fir‘aun musuhnya lebih jelek daripada saya, kenapa Nabi Musa kalau menyampaikan kritik dengan qawlan layyinan—perkataan yang lembut?

Kini giliran sang kiai yang memerah mukanya. Ia ingat betul pesan Tuhan kepada Nabi Musa dan Harun dalam Al-Quran: Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, sebab dia memerintah dengan sewenang-wenang. Kemudian berkatalah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut (qaulan layyinan) semoga dia akan menjadi ingat atau menjadi takut [kepada Tuhan] (Thaha [20]: 43–44).

Allah berpesan agar Musa dan Harun menggunakan tutur kata yang lembut kepada Fir‘aun yang bengis itu. Diperlukan usaha persuasif agar inti komunikasi tercapai: supaya dia menerima seruan keduanya. Meski Fir‘aun bergeming dengan pendiriannya hingga tenggelam bersama pengikutnya di Laut Merah, tapi ajaran etik di balik peristiwa itu berlaku abadi: sampaikan kebenaran dengan qaulan layyinan.

Mari kita simak makna qaulan layyinan dalam kitab-kitab tafsir klasik dan modern. Qaulan layyinan adalah ungkapan yang menghindari kata-kata yang bernada kasar (Isamail Haqqi dan Al-Maraghi); perkataan yang lembut, halus, mudah, dan penuh keakraban (Ibnu Katsir), dan mendatangkan ketenangan bagi jiwa pendengarnya (Alusi).

Itulah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh—benar dan rasional tanpa merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara. Bukan unjuk kekuatan atau memaksa (Kemenag, 2012), melainkan cara yang halus, sopan, lembut namun meyakinkan (Madjid, 1994).

Di ayat lain dengan cara bijaksana, urun rembuk yang baik dan argumen yang unggul (an-Nahl [16]: 125). Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Lawanlah kejahatan itu dengan sesuatu yang lebih baik, maka orang yang di antara engkau dan dia ada permusuhan itu akan menjadi seolah-olah kawan yang sangat akrab (Fushshilat [41]: 34).

Semua itu adalah ciri-ciri orang terdidik atau terpelajar dalam berkomunikasi. Bahkan, kata Al-Quran, konsekuensi iman yang benar adalah kemampuan bertutur kata benar, sopan, dan baik: Dan mereka (kaum beriman dan beramal saleh) itu telah dibimbing ke arah tutur kata yang baik, dan telah pula dibimbing ke arah jalan Allah yang Maha Terpuji (al-Hajj [22]: 24).

Meski niat seseorang benar demi mengingatkan pendengar, sikap kasar hanya akan melahirkan antipati. Sikap emosional hanya menimbulkan kebencian. Ujungnya adalah kegersangan sosial.  Kalau secara sosial gersang, maka nilai-nilai kemanusiaan akan sulit tumbuh. Yang tumbuh adalah budaya dan karakter kekerasan. Itulah budaya jahiliah alias karakter kalangan tidak terdidik. Jahiliyyah (zaman kebodohan)—berasal dari j-h-l—meski akar kata jahl berkonotasi kebodohan, arti utamanya adalah “sikap pemarah”. Dalam teks-teks awal Islam, jahiliyyah menunjukkan agresi, arogansi, chauvinisme, dan kecenderungan kronis pada kekerasan dan balas dendam (Izutsu, 2002).

Nabi mengingatkan, “Man yuhramu al-rifqu yuhramu al-khair, Siapa yang jauh dari sikap lemah lembut ia jauh dari kebaikan.“ (HR Muslim). Tak hanya mengingatkan, beliau menunjukkan cara menghadapi sikap kasar dan mengubahnya menjadi lembut dan penuh kasih sayang [Mohammad NUH].

Mukhlishin dan Mukhlashin

Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya,kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlash di antara mereka”.” (Q.S. Al-Hijr: 39-40)

Dari dialog antara Allah Swt. dengan Iblis la‘natullah ‘alaihi yang direkam oleh rangkaian ayat Al-Qur’an di atas, tergambar jelas bahwa Iblis bersumpah untuk menyesatkan seluruh umat manusia. Ia akan menjadikan kejahatan tampak indah di mata manusia. Ia akan mengelabui manusia dengan bujuk rayunya agar manusia mengikuti jalan sesatnya. Sebagian besar manusia akan mengikuti bujuk rayu Iblis tersebut, kecuali hamba-hamba Allah yang Mukhlashin. Yaitu, mereka yang sudah mencapai derajat (maqam) ikhlas yang sangat tinggi. Mereka ini tidak akan bisa diperdaya oleh godaan serta bujuk rayu Iblis. Iblis tidak akan berkutik, tidak bisa berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang penuh ketulusan hati, keikhlasan jiwa, yang hanya mengharap ridha Allah semata atas segala amal yang dilakukannya.

Siapakah sesungguhnya Al-Mukhlashin itu? Di dalam Al-Qur’an terdapat dua istilah yang menggambarkan kondisi orang-orang yang ikhlas. Pertama, al-Mukhlishun; dan kedua, al-Mukhlashun.

Kata mukhlish dan mukhlash berasal dari akar kata yang sama, yaitu akhlashayukhlishu, berarti tulus, jernih, bersih, dan murni. Dari akar kata tersebut lahir kata mukhlish, jamaknya al-mukhlishun, berarti orang yang setulus-tulusnya mengikhlaskan diri di dalam upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah Swt. Perkataan, pikiran, dan segenap tindakannya hanya tertuju kepada Allah Swt.

Dari kata akhlasha juga lahir kata mukhlash, jamaknya al-mukhlashun, berarti orang yang mencapai puncak keikhlasan sehingga bukan dirinya lagi yang berusaha menjadi orang ikhlas (mukhlishin) tetapi Allah Swt. yang proaktif untuk memberikan keikhlasan. Jika mukhlish masih sadar kalau dirinya berada pada posisi ikhlas, sedangkan mukhlash sudah tidak sadar kalau dirinya sedang berada dalam posisi ikhlas. Keikhlasan sudah merupakan bagian dari habit dan kehidupan sehari-harinya.

Seorang mukhlish masih sadar akan keikhlasannya. Pada posisi ini masih riskan untuk diperdaya provokasi iblis karena masih menyadari dirinya berbuat ikhlas. Sedangkan mukhlash, iblis sudah menyerah dan tidak bisa lagi berhasil mengganggunya karena langsung di-back up oleh Allah Swt. Demikian penjelasan Prof. Nasaruddin Umar tentang perbedaan makna al-Mukhlishin dan al-Mukhlashin.

Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsîr al-Wajîz memberikan keterangan bahwa yang disebut al-Mukhlashin adalah hamba-hamba Allah yang mukmin yang disucikan oleh Allah dari segala noda dan dosa, serta mengikhlaskan ketaatannya hanya kepada Allah Swt.

Dari beberapa keterangan di atas, jelaslah bahwa al-Mukhlashin adalah orang-orang yang memiliki maqam yang tinggi di hadapan Allah, karena seluruh aktivitas hidupnya hanya ditujukan sepenuhnya kepada Allah Swt.

Orang-orang dengan predikat Mukhlashin tidak pernah merasa bangga dengan amal ibadah yang dia lakukan, meskipun banyak orang yang memberi sanjung puji kepadanya. Pun mereka tidak akan pernah merasa sedih dan berkecil hati ketika tidak ada seorang pun yang memberikan apresiasi terhadap aktivitas ibadahnya. Al-Mukhlashin hanya berharap ridha Allah. Mereka sangat menikmati ibadah yang mereka lakukan tanpa peduli dengan komentar orang-orang di sekelilingnya.

Dengan ketulusan niat yang sangat tinggi, keikhlasan jiwa yang sangat dalam, iblis tidak mampu menggoyahkan hati sang Mukhlashin.

Oleh : Didi Junaedi, penulis Berpikir Positif Agar Tuhan Selalu Menolongmu!

Uswatun Hasanah

Waktu itu Rasulullah saw. dan para sahabat menggali parit di sebelah utara kota Madinah. Umat Islam memutuskan tak keluar dari kota dan membuat benteng pertahanan dalam menghadapi kaum musyrik Mekah yang berkoalisi dengan Yahudi dan Nasrani Madinah. Karena itulah perang tersebut kelak dikenal dengan Perang Parit atau Khandaq. Parit yang digali itu cukup panjang, lebar, dan dalam. Perbekalan yang tersedia sangat menipis sehingga para sahabat terpaksa mengganjal perutnya dengan batu sebagai penahan rasa lapar.

Beberapa sahabat datang kepada Rasulullah, mengadukan keadaan mereka yang kelaparan, sambil memperlihatkan perut mereka yang diganjal batu. Rasulullah pun membukakan bagian perutnya, dan tampaklah dua buah batu mengganjal perut beliau. Pada detik-detik itulah kemudian turun ayat yang sangat akrab di telinga kita:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mendamba Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah.” [al-Ahzab: 21]

Kalau perut para sahabat hanya diganjal dengan satu buah batu, Rasulullah malah mengganjal perutnya dengan dua buah batu. Rasulullah lebih merasakan lapar daripada mereka. Itulah salah satu uswatun hasanah tentang empati dan solidaritas.

Uswah (أُسْوَةٌ) berasal dari kata asâ, ya’sû, uswa’an. Artinya mengobati, menghibur, atau memperbaiki. Maknanya kemudian berkembang menjadi pengobat bagi orang yang dirundung kesusahan atau kesedihan (mâ yu‘tazî bihî wamâ ya‘tasî bihî al-hazîn). Kemudian bergeser menjadi teladan atau sesuatu yang dikuti (قدوة). Pergeseran makna ini bisa dimaklumi, karena apa yang menjadi teladan biasanya secara psikologis dapat memberi kepuasan dan hiburan bagi yang mengikutinya sehingga cenderung ditiru atau diikuti (Ensiklopedia Al-Quran: 2002).

Syekh Raghib al-Ashfahani juga memaknai uswah sebagai qudwah (قدوة), yaitu kepribadian seseorang yang menarik untuk diikuti orang lain, entah baik atau buruk, entah menyenangkan atau membahayakan.

Hasanah bermakna “baik”. Namun, dalam bahasa Arab, kata baik banyak sebutannya antara lain: khair, ma‘ruf, birr, shalih, dan sebagainya. Maka, hasan/hasanah/husnâ lebih tepat diartikan indah, mempesona, estetis. Ia kombinasi antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Jadi, uswatun hasanah adalah contoh yang benar, baik, dan indah. Karena dalam kehidupan tidak hanya butuh kebenaran, tapi juga butuh kebaikan, juga butuh keindahan sehingga tercipta kesempurnaan hidup.[Q]

Qawlan Sadida

Qawlan Sadida

Dapat diterjemahkan menjadi perkataan yang lurus atau yang benar. Kata qawlan sadida disebut dua kali dalam al-Quran (al-Nisa’: 4-9 dan al-Ahzab/33: 70-71):

 

Wahai orang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan kemenangan yang besar (al-Ahzab/33: 70-71).

 

Perintah untuk berkata benar dalam ayat di atas didahului oleh perintah bertakwa, dan ayat 71 merupakan janji keberhasilan jika pendekatan itu dipergunakan.

 

Lebih jauh, Ibn Manzhur dalam Lisan al Arab menjelaskan, kata sadid yang dihubungkan dengan qawl mengandung arti mengenai sasaran, (nashibul qashdi).  Jadi, pesan akan menyentuh akal dan hati pendengarnya jika materi yang disampaikan itu benar, baik dari segi logika maupun bahasa, dan disampaikan dengan kesadaran takwa.[]