Dikisahkan, ada seorang kiai penceramah hebat. Suaranya lantang. Orasinya memukau jamaah. Cirinya, kalau ada penjabat yang hadir, telinganya akan merah. Itu akibat tajamnya kritik yang dilontarkan dengan kata-kata pedas di setiap ceramahnya.
Suatu ketika, setelah kiai itu selesai berceramah, seorang pejabat mendekati sang kiai. Terjadilah dialog di antara mereka.
“Pak Kiai, sampean mengenal Nabi Musa?”
“Tentu saja. Dia salah satu rasul yang dijuluki kalimullah.”
“Lebih mulia mana antara Nabi Musa dengan sampean?”
“Jelas lebih mulia Nabi Musa. Bukan hanya nabi, tapi beliau juga rasul. Bukan hanya rasul, tapi termasuk rasul ulul azmi.”
“Sampean tahu musuh Nabi Musa, Pak Kiai?”
“Ya, tahu. Fir‘aun.”
“Jelek mana saya dan Fir’aun, Pak Kiai?
“Sampean memang pejabat sangat bejat, tapi Fir’aun pasti lebih bejat lagi. Dia kejam dan angkuh, bahkan ngaku-ngaku Tuhan segala.”
“Kalau Nabi Musa lebih mulia daripada sampean dan Fir‘aun musuhnya lebih jelek daripada saya, kenapa Nabi Musa kalau menyampaikan kritik dengan qawlan layyinan—perkataan yang lembut?
Kini giliran sang kiai yang memerah mukanya. Ia ingat betul pesan Tuhan kepada Nabi Musa dan Harun dalam Al-Quran: Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, sebab dia memerintah dengan sewenang-wenang. Kemudian berkatalah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut (qaulan layyinan) semoga dia akan menjadi ingat atau menjadi takut [kepada Tuhan] (Thaha [20]: 43–44).
Allah berpesan agar Musa dan Harun menggunakan tutur kata yang lembut kepada Fir‘aun yang bengis itu. Diperlukan usaha persuasif agar inti komunikasi tercapai: supaya dia menerima seruan keduanya. Meski Fir‘aun bergeming dengan pendiriannya hingga tenggelam bersama pengikutnya di Laut Merah, tapi ajaran etik di balik peristiwa itu berlaku abadi: sampaikan kebenaran dengan qaulan layyinan.
Mari kita simak makna qaulan layyinan dalam kitab-kitab tafsir klasik dan modern. Qaulan layyinan adalah ungkapan yang menghindari kata-kata yang bernada kasar (Isamail Haqqi dan Al-Maraghi); perkataan yang lembut, halus, mudah, dan penuh keakraban (Ibnu Katsir), dan mendatangkan ketenangan bagi jiwa pendengarnya (Alusi).
Itulah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh—benar dan rasional tanpa merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara. Bukan unjuk kekuatan atau memaksa (Kemenag, 2012), melainkan cara yang halus, sopan, lembut namun meyakinkan (Madjid, 1994).
Di ayat lain dengan cara bijaksana, urun rembuk yang baik dan argumen yang unggul (an-Nahl [16]: 125). Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Lawanlah kejahatan itu dengan sesuatu yang lebih baik, maka orang yang di antara engkau dan dia ada permusuhan itu akan menjadi seolah-olah kawan yang sangat akrab (Fushshilat [41]: 34).
Semua itu adalah ciri-ciri orang terdidik atau terpelajar dalam berkomunikasi. Bahkan, kata Al-Quran, konsekuensi iman yang benar adalah kemampuan bertutur kata benar, sopan, dan baik: Dan mereka (kaum beriman dan beramal saleh) itu telah dibimbing ke arah tutur kata yang baik, dan telah pula dibimbing ke arah jalan Allah yang Maha Terpuji (al-Hajj [22]: 24).
Meski niat seseorang benar demi mengingatkan pendengar, sikap kasar hanya akan melahirkan antipati. Sikap emosional hanya menimbulkan kebencian. Ujungnya adalah kegersangan sosial. Kalau secara sosial gersang, maka nilai-nilai kemanusiaan akan sulit tumbuh. Yang tumbuh adalah budaya dan karakter kekerasan. Itulah budaya jahiliah alias karakter kalangan tidak terdidik. Jahiliyyah (zaman kebodohan)—berasal dari j-h-l—meski akar kata jahl berkonotasi kebodohan, arti utamanya adalah “sikap pemarah”. Dalam teks-teks awal Islam, jahiliyyah menunjukkan agresi, arogansi, chauvinisme, dan kecenderungan kronis pada kekerasan dan balas dendam (Izutsu, 2002).
Nabi mengingatkan, “Man yuhramu al-rifqu yuhramu al-khair, Siapa yang jauh dari sikap lemah lembut ia jauh dari kebaikan.“ (HR Muslim). Tak hanya mengingatkan, beliau menunjukkan cara menghadapi sikap kasar dan mengubahnya menjadi lembut dan penuh kasih sayang [Mohammad NUH].