Dari Takatsur ke Tasyakur

Dari Takatsur ke Tasyakur

Penyakit Paling Purba

Konon, ada dua penyakit batin yang paling purba: takatsur (rakus) dan takabur (sombong). Dalam kondisi tertentu, kedua penyakit batin itu beranak dua: Saat orang rakus itu dalam kondisi lemah dan tak kebagian, ia iri (hasad); dan saat orang sombong itu kalah dan tak berdaya, ia dendam (kesumat).

Dari mana takatsur dan takabur itu bermula? Dari nafs atau hawa nafsu. Kita semua berpotensi mengidap penyakit tertua ini, karena tidak satu pun dari kita yang tak memiliki hawa nafsu. Tidak sedikit ilmuwan muslim—seperti al-Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Sina dll—yang mengidentikkan hawa nafsu sebagai sisi kebinatangan manusia. Ilmuwan Ikhwanus Shafa menyatakan bahwa binatang mempunyai dua ciri, yang keduanya sama dengan karakter hawa nafsu manusia: selalu mencari keuntungan dan mempertahankan diri. Sifat pertama disebut syahwat (egoisme) dan sifat kedua disebut ghadhab (egotisme). Dari egoisme lahir kerakusan/keserakahan/takatsur, dari egotisme lahir kesombongan/kecongkakan/takabur.

Apa tanda kita terjangkit virus takatsur? Setidaknya ada tiga gejala. Pertama, antisosial, tak peduli kesejahteraan bersama, tak peka terhadap ketidakadilan. Asal urusan kita beres soal orang lain sengsara kita tidak peduli. EGP, kata anak sekarang.

Kedua, instan, melihat kehidupan berdasarkan hasil yang jangka pendek, segera dan sesaat. Tidak bersedia melihat jauh ke depan. Tidak sanggup menunda kenikmatan kecil dan sesaat demi kebahagiaan yang lebih besar dan abadi. Tumbuh mental menerabas. Ingin sukses tanpa proses. Memilih jalan pintas daripada jalan pantas.

Ketiga, tak kunjung puas. Sebab, hawa nafsu—akar takatsur—memang takkan terpuaskan dengan diperturutkan. Nabi saw. mengingatkan, “Seandainya turunan Adam memiliki dua lembah dari emas, niscaya dia menginginkan yang ketiga, kerongkongan turunan Adam tidak pernah penuh, sehingga [dipenuhi] dengan tanah” (HR Bukhari dan Muslim). Gaji tinggi nyatanya tak membuat korupsi berhenti. Tak heran bila korupsi besar-besaran justru terjadi di kalangan berpendapatan besar.

Transformasi ke Tasyakur

Takatsur diambil dari kata mukâtsarah yang berarti berbanyak-banyakan. Abdullah Yusuf Ali (1990) menerjemahkan takâtsur sebagai acquisitiveness—kerakusan untuk menambah jumlah kekayaan, kedudukan, pengikut, dan pendukung, produksi massa atau organisasi massa. Jadi, takâtsur adalah kerakusan untuk mencari kekayaan, jabatan, dan pengaruh.

Apakah dengan demikian kita dilarang memperbanyak kekayaan, jabatan, dan pengaruh? Tentu saja boleh asal bukan digerakkan oleh takatsur melainkan oleh tasyakur—keinginan untuk memaksimalkan potensi agar dapat memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya untuk diri dan orang lain. Dengan tasyakur, harta dan kekuasaan menjadi sarana mengabdi kepada Allah dengan melayani manusia.

Islam mengakui hak milik pribadi, namun dalam hak milik pribadi itu ada fungsi sosial dan menekankan keadilan sosial. Islam mengutuk konsentrasi modal dan pemilikan pada segelintir orang serta eksploitasi keuntungan berbasis riba yang menyengsarakan orang lain. Di dalam harta orang kaya ada hak orang miskin (QS 70: 24-25). Agar kekayaan tidak boleh berputar di kalangan orang kaya saja (QS 59: 7). Zakat diratakan kepada kelompok yang membutuhkan dan riba dilarang (QS 30: 39).

Menarik sekali, surah al-Takâtsur menjelaskan tiga cara mentransformasikan takatsur menjadi tasyakur: pertama, mengingat maut. Sampai kalian menjenguk kuburan (QS 102: 2). Di sini, ziarah kubur mengandung makna tindakan eskatologis: mau ke mana akhirnya manusia itu. Betapapun seseorang memiliki kekayaan, relasi sosial, jabatan dan kekuasaan, demikian pula kekayaan rohani yang luar biasa ketika di dunia, namun yang jelas ke liang lahat itu akhirnya. Kita hanya musafir; semua akan kita tinggalkan.

Kedua, meningkatkan ilmu dan pengetahuan. Janganlah demikian! Akan kalian ketahui. Kemudian, janganlah demikian. Akan kalian ketahui. Janganlah demikian! Kalaulah kalian mengetahui berdasarkan kebenaran ilmu. (QS 102: 3-5). Kebenaran itu tiga tingkat. Pertama, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti yang tidak bisa diingkari. Itu disebut “‘ilm al-yaqin”. Kedua, kebenaran yang diperoleh berdasarkan penglihatan mata kepala sendiri. Itu disebut “‘ayn al-yaqin”. Dan ketiga, kebenaran hakiki yang tidak tergantung pada pengetahuan dan penglihatan, tetapi hakekatnya sendiri merupakan kebenaran mutlak. Itu disebut “haqq al-yaqin”

Bila kita mau belajar kita pasti bisa melihat atau merasakan konsekuensi takatsur. Tetapi pemburu dunia itu tidak mau belajar dan mendengar. Atau mereka mempelajari dan mendengarnya, tetapi tidak menggubrisnya. Akibatnya mereka tidak dapat merasakan “panasnya neraka itu” di dunia juga. Mereka terjebak perilaku cinta dunia. Setelah diantar ke liang kubur barulah mereka sadar bahwa apa yang diajarkan agama itu benar. Tetapi kesadaran atau iman pada waktu itu tidak ada gunanya lagi. Telat! Kalian pasti akan melihat neraka Jahim. Kemudian, kalian pasti akan melihatnya berdasarkan kebenaran penglihatan mata (QS 102: 6).

Ketiga, memupuk rasa tanggung jawab. Seorang sufi-filsuf Andalusia, Ibn ‘Arabi, menggambarkan tentang sikap tasyakur ini secara lugas: Selama kamu hidup, kamu bagaikan seorang pengumpul banyak keuntungan dari karunia Allah yang sampai kepadamu dari begitu banyak tangan. Apa yang kamu terima itu bukanlah betul-betul milikmu. Kamu bagaikan seorang kasir: kamu harus membagi-bagikan apa yang telah kamu terima, tapi kamu bertanggung jawab untuk perhitungannya (Kunhu ma la budda lil murid: 1999).

Kalau takatsur muncul dari hawa nafsu, maka ilmu pengetahuan berasal dari akal, dan tanggung jawab/akuntabilitas muncul dari hati—fakultas dalam diri untuk mawas diri (muhasabah) dan merasakan kehadiran Tuhan/merasa diawasi oleh-Nya (muraqabah).

Tengah hari di Madinah. Karena panas yang menyengat, semua makhluk berlindung di tempat-tempat yang teduh. Penduduk Madinah umumnya memilih tidur siang (qailûlah). Jalan-jalan lengang. Tidak ada yang bergerak, kecuali debu-debu dan daun-daun yang diterbangkan angin. Tiba-tiba muncul seorang lelaki terhuyung-huyung menuju Masjid. Setelah itu, datang laki-laki lain.
“Apa yang membuat kalian keluar pada jam seperti ini, Abu Bakar,” tanya ‘Umar, laki-laki yang datang belakangan. “Aku keluar karena lapar,” jawab Abu Bakar. Kata ‘Umar, “Demi Allah, yang diriku ada di tangan-Nya. Aku pun terpaksa keluar karena lapar.”

Ketika keduanya duduk di masjid, Rasulullah saw. datang. “Mengapa kalian keluar pada jam seperti ini,” tanya beliau. “Rasa lapar yang memilin perut kami, ya Rasul Allah,” keduanya menjawab. “Demi yang mengutusku dengan kebenaran, aku pun keluar karena sebab yang sama. Bangunlah, marilah kita pergi ke rumah Abu Ayyub al-Anshari.”
Ketiganya sampai ke rumah Abu Ayyub. Istrinya menyambut mereka, “Selamat datang Nabi Allah, selamat datang juga orang-orang yang yang bersamanya.” “Ke mana Abu Ayyub?” tanya Nabi.” Ia sedang keluar, tetapi sebentar lagi datang, ya Nabi Allah,” jawab istri Abu Ayyub.
Memang, tidak lama kemudian Abu Ayyub datang. Ia sangat senang karena mendapat kunjungan tamu-tamu mulia. Ia segera memotong satu tangkai kurma. Nabi menegurnya, “Mengapa ia memotong satu tangkai, padahal yang mau diambil hanya buahnya.” Abu Ayyub berkata, “Saya ingin sekali engkau makan kurma, baik yang masih muda maupun yang sudah matang.”

Untuk menjamu Rasulullah dan kedua sahabat, Abu Ayyub menyembelih kambing muda. Setengahnya dimasak dan setengahnya lagi dipanggang. Ketika hidangan disajikan di hadapan Rasulullah saw., beliau berkata, “Ya Abu Ayyub, berikan ini kepada Fatimah. Sudah beberapa hari ini ia tidak memperoleh makanan seperti ini.” Abu Ayyub segera mengantar makanan itu ke rumah Fatimah.

Nabi dan kedua sahabatnya makan sampai kenyang. Nabi bersabda, “Roti, daging, kurma matang, kurma segar, kurma muda.” Nabi menyebut makanan yang terhidang, sedang air mata tergenang di pelupuk matanya. Beliau berkata lagi, “Demi yang diriku ada di tangan-Nya, inilah nikmat yang akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah nanti pada hari kiamat.” Lalu beliau membaca ayat terakhir:

Tsumma latus’alunna yawma’idin ‘aninna‘îm. Kemudian sungguh, pada hari itu kamu akan ditanya. Tentang nikmat yang kamu peroleh hari ini QS 102: 6).

Kalau nikmat makan saja kita perlu muraqabah, lebih-lebih nikmat kekayaan dan kekuasaan. Wallahu a‘lam[QSF]