Judul | KAIDAH-KAIDAH TAFSIR |
Bekal Mendasar untuk Memahami Makna Al-Qur’an dan Mengurangi Kesalahan Pemahaman | |
Penulis | Prof. Dr. H. Salman Harun, dkk. |
ISBN | 978-602-5547-69-0 |
Dimensi | 15 × 23 cm |
Isi | 888 halaman; Imperial |
Sampul | SoftCover & HardCover |
Terbit | Oktober 2017 |
Sinopsis
EPISTEMOLOGI TAFSIR AL-QUR’AN
اَلْأَحْكَامُ الْكُلِّيَّةُ الَّتِيْ يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِنْبَاطِ مَعَانِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَمَعْرِفَةِ كَيْفِيَةِ الْاِسْتِفَادَةِ مِنْهَا
Kaidah Tafsir adalah aturan-aturan umum yang digunakan untuk memahami makna Al-Qur’an dan cara menerapkan aturan-aturan itu.
* * * * *
Dengan menerapkan kaidah tafsir itu pada rinciannya, maka akan terbuka lebar pemahaman baru yang tidak terlukiskan, dan akan ada alat bagi yang menguasai kaidah-kaidah itu untuk meraih pemahaman tentang makna ayat-ayat lain yang mirip dalam Al-Qur’an, sekaligus untuk membedakan dan memilih pendapat yang paling tepat di antara aneka pendapat.
—Ibnu Taimiyah
Kaidah-Kaidah Tafsir ini layak dipuji dan disyukuri sekaligus perlu dipelajari peminat studi-studi Al-Qur’an. Memahami kaidah-kaidah tafsir Al-Qur’an mutlak adanya dalam rangka memahami makna-makna Al-Qur’an, seperti mutlaknya memahami kaidah-kaidah kebahasaan guna dapat memahami satu tulisan dan atau berbicara dengan baik dan benar.
—M. Quraish Shihab
Pada 1999 terbit Qawa‘id al-Tafsir karya Khalid ibn ‘Utsman al-Sabt. Buku ini luar biasa. Bila buku-buku sebelumnya hanya menerangkan aspek-aspek ilmu Al-Qur’an tanpa mempertajamnya menjadi kaidah, buku ini mampu menyusun kaidah-kaidah dari beberapa aspek ilmu-ilmu Al-Qur’an itu. Ia berhasil menyusun 280 kaidah tafsir beserta 100 subkaidah dalam 29 pokok bahasan. Buku itulah yang saya pandang perlu diperkenalkan kepada khalayak Indonesia. Selama ini banyak sekali permintaan agar buku seperti itu tersedia. Saya ketengahkan buku ini, dibantu oleh beberapa kawan, dengan cara menerjemahkan dan menyadurnya. Semoga hasrat kaum muslim—terutama para mahasiswa, sarjana, cendekiawan—dalam mempelajari Al-Qur’an terpenuhi; mereka tidak ragu-ragu lagi dalam bertindak karena mereka sudah mempunyai pedoman, dan mereka terhindar dari tersalah dalam usaha mereka itu.
—Salman Harun
Isi Buku
Pengantar M. Quraish Shihab
Pengantar Penulis
Pendahuluan: Kaidah Tafsir
Bab I: Turunnya Al-Qur’an dan Masalah-Masalah yang Berkaitan dengannya
A. Kaidah-Kaidah yang Berkaitan dengan Sabab Nuzul
Kaidah 1: Informasi tentang asbâb al-nuzûl harus didasarkan atas periwayatan dan pendengaran langsung.
Kaidah 2: Sabab nuzul harus berdasarkan hadis marfû‘.
Kaidah 3: Ayat Al-Qur’an adakalanya turun bersamaan dengan ketetapan hukum, adakalanya mendahuluinya, atau sebaliknya.
Kaidah 4: Pada dasarnya ayat tidak turun berulang-ulang.
Kaidah 5: Adakalanya sabab nuzul satu sedangkan ayat yang turun banyak, atau sebaliknya.
Kaidah 6: Apabila riwayat dalam sabab nuzul lebih dari satu, maka riwayat yang diambil adalah riwayat yang tsubut, shahih, dan sharih.
B. Kaidah-Kaidah yang Berkaitan dengan Makkiyyah dan Madaniyyah
Kaidah 7: Makkiyyah dan Madaniyyah diketahui dari riwayat orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat.
Kaidah 8: Pemahaman surah-surah Madaniyyah didasarkan atas surah-surah Makkiyyah. Begitu juga surah-surah Makkiyyah antara sesamanya serta surah-surah Madaniyyah antara sesamanya, pemahamannya ditentukan urutan turunnya.
C. Kaidah-Kaidah yang Terkait dengan Ahruf dan Qirâ’at Al-Quran
Kaidah 9: Qirâ’at yang sahih harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab, sesuai dengan salah satu Mushaf ‘Ustmani dan sanadnya sahih.
Kaidah 10: Jika ayat dibaca dengan beberapa qirâ’at yang berbeda, maka setiap qirâ’at dianggap ayat.
Kaidah 11: Jika dua qirâ’at berbeda makna, tetapi tidak jelas kontradiksi antara keduanya, sedangkan keduanya mengacu kepada hakikat yang sama, maka kedua qirâ’at itu saling melengkapi.
Kaidah 12: Qirâ’at-qirâ’at itu saling menjelaskan satu sama lain.
Kaidah 13: Qirâ’at syâdzdzah jika sanadnya sahih dapat diterima sebagai hadis âhâd.
Kaidah 14: Qirâ’at syâdzdzah yang bertentangan dengan qirâ’at mutawâtir dan tidak mungkin disatukan, tidak diterima.
Kaidah 15: Qirâ’at, jika jelas (dari Nabi), adalah sunnah yang wajib diikuti. Karena itu kaidah bahasa Arab dan kepopulerannya tidak dapat membatalkannya.
Kaidah 16: Basmalah turun bersama surah tertentu menurut beberapa “ahruf sab‘ah”. Karena itu siapa yang membacanya dengan huruf yang ia turun dalamnya itu, ia dihitung (sebagai ayat). Dan siapa yang membacanya tidak dengan huruf itu, ia tidak dihitung.
Kaidah 17: Bila ada dua qirâ’at (yang sama-sama kuat), maka tidak boleh ada pentarjihan salah satunya. Apabila ada dua i‘rab yang berbeda, maka salah satu i‘rab tidak boleh dipandang lebih baik daripada i‘rab yang lain.
D. Susunan Ayat-Ayat dan Surah-Surah Al-Qur’an
Kaidah 18: Urutan ayat-ayat Al-Qur’an seluruhnya tauqifi, sedangkan urutan surah tidak demikian.
Bab II: Metode Tafsir
Kaidah 19: Tafsir itu berdasarkan penukilan yang pasti atau berdasarkan pemikiran yang benar. Selain itu salah.
A. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
B. Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah
Kaidah 20: Bila tafsir dari Nabi saw. jelas ada, pendapat apa pun setelah itu tidak diperlukan.
Kaidah 21: Kata-kata Syari‘ dibawa kepada makna syariat, bila tidak bisa, dibawa ke makna budaya, dan bila tidak bisa, dibawa ke makna bahasa.
C. Tafsir Al-Qur’an dengan Pendapat Sahabat
Kaidah 22: Pendapat sahabat didahulukan dari tafsir lainnya, sekalipun lahiriah ungkapan ayat tidak menunjuk pendapat itu.
D. Tafsir Al-Qur’an dengan Pendapat Tabi‘in
Kaidah 23: Bila salaf berbeda pendapat mengenai tafsir ayat, siapa pun setelah mereka tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang berbeda.
Kaidah 24: Pemahaman salaf mengenai Al-Qur’an jadi hujah yang dipedomani bukan yang memedomani.
E. Tafsir Al-Qur’an dengan Bahasa Arab
Kaidah 25: Dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan bahasa perlu diperhatikan maknanya yang lazim, lebih dikenal, dan resmi, bukan makna yang jarang atau sedikit keterpakaiannya.
Kaidah 26: Ayat-ayat Al-Qur’an diperlakukan sesuai dengan kapasitas berbahasa kaum ummî.
Kaidah 27: Setiap makna yang diambil dari Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan bahasa Arab tidak dipandang ilmu tentang Al-Qur’an sedikit pun.
Kaidah 28: Kosakata Al-Qur’an tidak boleh digiring maknanya kepada terminologi baru.
Kaidah 29: Al-Qur’an dalam bahasa Arab, karena itu perlu ditempuh cara-cara istinbath dan istidlal Arab dalam menetapkan maknanya.
Bab III: Kaidah-Kaidah Berkaitan dengan Bahasa
Kaidah 30: Bila dimungkinkan menyambungkan frasa dengan frasa berikutnya atau dengan padanannya, hal itu lebih baik.
Kaidah 31: Fi‘l mudhâri‘ yang disebut sesudah lafal كان menunjukkan bahwa perbuatan itu selalu terulang dan terus-menerus terjadi.
Kaidah 32: Kalimat nominal menunjukkan keterus-menerusan dan konstan, kalimat verbal menunjukkan keberubah-ubahan.
Kaidah 33: Ism tafdhîl tidak selalu mengandung makna perbandingan, tetapi juga penggambaran (deskripsi).
Kaidah 34: Makna kata kerja dipahami berdasarkan kata depan yang mentransitifkannya.
Kaidah 35: Mengiringi kalimat dengan mashdar memaknakan pengagungan atau celaan.
Kaidah 36: Bagian tubuh yang tunggal manusia, bila digabungkan dengan yang sama dengannya, boleh berlaku padanya tiga bentuk: jamak, itulah yang banyak terpakai dan lebih baik, dual, atau tunggal.
Bab IV: Bentuk-Bentuk Sapaan Al-Qur’an
Kaidah 37: Pengalihan objek pembicaraan (iltifât) diperlukan untuk menarik perhatian dan penajaman makna.
Kaidah 38: Bila konteks ayat mengenai masalah tertentu, sedangkan Allah ingin menetapkan hukumnya dan hukum yang lainnya, maka Allah menyampaikannya dalam bentuk hukum umum.
Kaidah 39: Kewajiban diungkapkan dengan mashdar marfû‘ dan anjuran diungkapkan dengan mashdar manshûb.
Kaidah 40: Nakirah dalam Al-Qur’an karena berbagai alasan.
Kaidah 41: Mengungkapkan peristiwa masa lampau dengan bentuk kata kerja mudhari‘ gunanya untuk menggambarkan situasi sebenarnya ketika peristiwa terjadi.
Kaidah 42: Mengungkapkan dengan kata kerja masa lampau untuk peristiwa yang akan terjadi demi menegaskan bahwa peristiwa itu pasti terjadi.
Kaidah 43: Jika Allah telah menunjukkan wajibnya sesuatu pada satu tempat, maka yang demikian itu tidak memerlukan pengulangannya ketika menyebutkan masalah serupa dengannya sampai ada dalil yang mengubahnya.
Kaidah 44: Dalam bahasa Arab, khususnya dalam hal waktu, tidak terhalang digunakannya suatu waktu sedangkan yang dimaksud sebagiannya.
Kaidah 45: Penyebutan jumlah (bilangan) untuk laki-laki dan perempuan.
Kaidah 46: Yang disebutkan mukhatab (orang kedua), tetapi makna yang dikandungnya tidak hanya mukhatab itu, tetapi juga yang ghaib (orang ketiga).
Kaidah 47: Pekerjaan adakalanya disandarkan kepada pihak yang terdapat di dalamnya, tetapi penyebabnya bukanlah pihak yang terdapat di dalamnya itu. Dan pekerjaan adakalanya disandarkan kepada penyebabnya, tetapi penyebab yang sesungguhnya pihak lain.
Kaidah 48: Biasa dalam bahasa Arab kata kerja diubah pengaitannya bila maksud sudah dimaklumi.
Kaidah 49: Yang tak berakal disapa dengan sapaan untuk yang berakal bila kepadanya disandarkan pekerjaan yang berakal.
Kaidah 50: Biasa dalam bahasa Arab: (1) Memasukkan ال pada predikat ما dan الذي bila predikat itu sudah tertentu dan sudah dikenal oleh pembicara dan lawan bicara; (2) Predikatnya boleh tanpa ال bila predikat itu tidak dikenal, tidak tertentu, dan tidak pula dimaksudkan untuk ditujukan kepada sesuatu secara khusus.
Kaidah 51: Dalam bahasa Arab biasa kalimat perintah maknanya balasan.
Kaidah 52: Kata kadang-kadang terlihat berkaitan dengan kata lain, tetapi maknanya malah sebaliknya.
Kaidah 53: Biasa dalam bahasa Arab, perbuatan leluhur disandarkan kepada anak cucu, dan anak cucu disapa dan disandarkan kepada mereka perbuatan leluhur.
Kaidah 54: Yang disebutkan satu orang, tetapi yang dimaksud adalah jamak dan sebaliknya. Yang disebut satu orang, tetapi yang dimaksud tidak hanya yang satu orang itu, tetapi juga yang lainnya. Yang disebut lain dengan yang dimaksud.
Bab V: Izhhar, Idhmar, Ziyadah, Taqdir, Hadzf, Taqdim, dan Ta’khir
A. Al-Izhar dan Al-Idhmar
Kaidah 55: Zhahir diletakkan pada tempat dhamir atau sebaliknya karena ada urgensinya.
B. Al-Ziyâdah
Kaidah 56: Tidak ada tambahan (ziyadah) apa pun dalam Al-Qur’an.
Kaidah 57: Bertambah bentuk bertambah pula makna.
C. Al-Taqdîr dan Al-Hadzf
Kaidah 58: Jika jawaban tidak disebutkan maka sebelumnya disebutkan sesuatu yang menunjukkan jawaban itu.
Kaidah 59: Dibuangnya jawab syarat menunjukkan adanya ancaman yang besar dan hebat.
Kaidah 60: Kalimat sebenarnya memerlukan disebutkannya dua pihak, tetapi disebut salah satunya saja karena itulah yang dimaksud.
Kaidah 61: Adakalanya situasi menghendaki disebutkannya kedua kata yang berpasangan atau berkaitan makna, tetapi yang disebut cukup salah satunya saja.
D. Al-Taqdîm dan Al-Ta’khîr
Kaidah 62: Lebih dahulu disebutkan tidak berarti lebih dahulu pula terjadinya dan hukumnya.
Bab VI: Kata-Kata Depan yang Perlu Diketahui Maknanya oleh Seorang Mufasir
Kaidah 63: Setiap kata depan yang maknanya jelas kemudian digunakan untuk makna lain, maka makna kata depan itu tidak terlepas secara keseluruhan dari makna asalnya itu.
Kaidah 64: Bila مِنْ ditempatkan sebelum mubtada’, fa‘il, atau maf‘ul bih, gunanya adalah untuk menekankan penegasian, menambah penyangkalan, atau menyatakan keumuman.
Kaidah 65: Bila إذ ditempatkan setelah اذكر, maknanya adalah perintah adanya peristiwa yang jarang terjadi yang diperhatikan.
Kaidah 66: Penempatan قد pada mudhari‘ yang dinisbahkan kepada Allah menunjukkan makna yang pasti.
Kaidah 67: Bila alif lam masuk kepada kata yang diberi sifat (maushuf) maka kata itu lebih tepat untuk sifat tersebut daripada kata lainnya.
Kaidah 68: Ism maushul menyatakan alasan hukum.
Bab VII: Kata-Kata Ganti (Dhama’ir)
Kaidah 69: Suatu dhamir yang terdapat dalam suatu ayat yang mungkin dikembalikan kepada lebih dari satu tempat kembali maka dhamir itu dapat dikembalikan kepada semuanya.
Kaidah 70: Mudhaf dan mudhaf ilaih yang diikuti oleh sebuah dhamir maka hukum asal dhamir tersebut dikembalikan kepada mudhaf.
Kaidah 71: Apabila ada dua hal yang disebutkan dan ada sebuah dhamir yang mengikutinya maka dhamir tersebut dikembalikan kepada salah satunya karena dipandang cukup.
Kaidah 72: Adakalanya dhamir mutsanna yang disebutkan setelah dua hal harus dikembalikan kepada salah satu yang lebih kuat.
Kaidah 73: Bila beberapa dhamir disebutkan berurutan, maka hukum dasarnya dikembalikan kepada satu tempat kembali.
Bab VIII: Kata Benda dalam Al-Qur’an
Kaidah 74: Bila sebuah kata benda memiliki beberapa makna, maka makna kata itu disesuaikan dengan konteksnya.
Kaidah 75: Sebagian kata benda dalam Al-Qur’an, bila disebut tersendiri, mengandung makna umum yang cocok baginya, dan bila digabung dengan kata lain, ia mencakup sebagian makna dari kata itu, dan makna yang lain terkandung dalam kata lainnya itu.
Kaidah 76: Menjadikan dua kata berbeda makna lebih baik daripada bermakna sama.
Bab IX: Al-‘Athf
Kaidah 77: Meng-‘athf-kan lafaz umum kepada lafaz khusus untuk menunjukkan keumuman makna dan menekankan pentingnya lafaz yang disebut pertama.
Kaidah 78: Meng-‘athf-kan lafaz khusus kepada lafaz umum untuk menekankan bahwa lafaz khusus itu lebih utama dan lebih penting.
Kaidah 79: Suatu kata benda yang disifati dengan dua sifat yang berbeda maka salah satu dari dua kata sifat itu boleh di-‘athf-kan kepada yang lain.
Kaidah 80: ‘Athf menuntut keberbedaan antara ma‘thuf dan ma‘thuf ‘alaih.
Kaidah 81: Menyambungkan kalimat nominal kepada kalimat verbal memberikan makna kekekalan dan keabadian.
Bab X: Al-Washf
Kaidah 82: Setiap shifah yang lebih jauh dari bangunan kata kerjanya lebih dalam maknanya.
Kaidah 83: Shifah bagi nakirah berfungsi mengkhususkan dan shifah bagi ma‘rifah berfungsi menjelaskan.
Kaidah 84: Shifah yang terletak sesudah idhafah sedangkan mudhaf-nya kata bilangan, dapat dikenakan kepada mudhaf atau kepada mudhaf ilaih.
Kaidah 85: Shifah yang khusus untuk perempuan, bila dimaksudkan dengannya pekerjaan, diberi ta’ marbuthah, tetapi jika dimaksudkan dengannya pembangsaan, tidak diberi ta’ marbuthah.
Kaidah 86: Semua bentuk shifah musyabbahah yang bermakna ism fa‘il, jika dimaksud dengannya peristiwa atau sesuatu yang berubah-ubah, maka ia dibentuk dengan pola fa‘il, dan jika tidak mengandung makna peristiwa dan perubahan maka ia tetap pada pola asalnya.
Kaidah 87: Patokan dalam penyampaian pujian adalah dari shifah yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi, dan dalam mencela sebaliknya.
Kaidah 88: Bila sifat menempati satu tempat, hukum sifat itu kembali kepada tempat itu, dan nama untuk tempat itu diambil dari sifat tersebut.
Bab XI: Al-Tawkid
Kaidah 89: Tawkid meniadakan kemungkinan majaz.
Kaidah 90: Semakin besar persoalan, semakin banyak tawkid.
Kaidah 91: Pada dasarnya tawkid digunakan apabila yang disapa mengingkari atau meragukan pesan.
Bab XII: Sinonim (Al-Tarâduf)
Kaidah 92: Selama kata-kata Al-Qur’an dapat dibawa kepada ketidaksinoniman, itu lebih baik.
Kaidah 93: Adakalanya satu masalah diungkapkan dengan dua kata. Pengungkapan dengan cara demikian semakin memperkuat makna.
Kaidah 94: Makna yang tercipta dari gabungan dua kata sinonim tidak akan diperoleh ketika masing-masing berdiri sendiri.
Bab XIII: Al-Qasam (Sumpah)
Kaidah 95: Sumpah hanya dinyatakan dengan nama-nama yang agung
Kaidah 96: Mereka-reka adanya sumpah dalam kitab Allah tanpa petunjuk yang jelas, berarti menambah-nambah makna kitab Allah tanpa dalil.
Bab XIV: Perintah dan Larangan (Al-Amr wan-Nahy)
A. Al-Amr
Kaidah 97: Perintah (amr) yang bersifat mutlak menunjukkan wajib kecuali ada dalil yang mengalihkannya.
Kaidah 98: Memerintahkan sesuatu memestikan pelarangan sebaliknya.
Kaidah 99: Amr menghendaki kesegeraan dilaksanakan kecuali ada petunjuk lain.
Kaidah 100: Amr yang dikaitkan dengan syarat atau shifat menuntut pengulangan.
Kaidah 101: Amr yang terletak sesudah larangan, hukumnya dikembalikan kepada keadaan sebelum larangan.
Kaidah 102: Bila perintah turun karena pertanyaan mengenai boleh atau tidaknya sesuatu maka perintah itu untuk kebolehan.
Kaidah 103: Perintah yang dikaitkan dengan kata benda, apakah cukup dilaksanakan pada tingkat minimal kata itu?
Kaidah 104: Perintah mengerjakan sesuatu yang masih samar tetapi sudah dibatasi, apakah wajib dilaksanakan salah satunya saja secara acak?
Kaidah 105: Perintah yang ditujukan kepada sekelompok orang berlaku wajib untuk setiap orang, kecuali terdapat dalil lain.
Kaidah 106: Perintah atau larangan itu dua macam: ada yang tegas dan ada yang tidak tegas. Penunjukan masing-masing kepada hukum perlu pembahasan.
Kaidah 107: Perintah Allah dalam Kitab-Nya ada yang ditujukan kepada orang yang tidak termasuk ke dalam perintah itu, maka perintah itu berarti memintanya masuk ke dalamnya; Ada pula perintah yang ditujukan kepada orang yang termasuk ke dalam perintah itu, maka berarti bahwa perintah itu ditujukan agar ia memperbaiki apa yang telah dikerjakannya dan meningkatkan apa yang belum dikerjakannya.
Kaidah 108: Mengerjakan yang diperintahkan lebih tinggi nilainya daripada meninggalkan yang dilarang; Meninggalkan yang diperintahkan lebih tinggi nilainya daripada mengerjakan yang dilarang; Pahala mengerjakan yang wajib lebih besar daripada pahala meninggalkan yang diharamkan; Hukuman meninggalkan yang wajib lebih besar daripada hukuman mengerjakan yang diharamkan.
B. Al-Nahy (Larangan)
Kaidah 109: Al-Nahyu menghendaki keharaman, kesegeraan pelaksanaannya dan berlaku selamanya, kecuali terdapat indikasi lain.
Kaidah 110: Larangan terhadap “yang niscaya” (lazim) lebih kuat penunjukannya kepada larangan terhadap “yang diniscayakan” (malzum) daripada melarangnya secara berdiri sendiri.
Kaidah 111: Bila Syari‘ melarang sesuatu berarti Ia melarang juga sebagiannya, dan bila Syari‘ memerintahkan sesuatu berarti Ia memerintahkan pula keseluruhannya.
Kaidah 112: Menyatakan insya’i dengan bentuk khabari lebih kuat maknanya daripada menyatakannya dengan bentuk insya’i.
Kaidah 113: Adanya larangan disebabkan adanya akibat buruk.
Bab XV: Al-Nafy (Negasi)
Kaidah 114: Penafian sesuatu terhadap makhluk atau penetapannya terhadap Allah mengandung arti bahwa Allah tidak mempunyai tandingan.
Kaidah 115: Menegasikan yang umum lebih kuat daripada menegasikan yang khusus, mempositifkan yang khusus lebih kuat daripada mempositifkan yang umum.
Kaidah 116: Menegasikan yang lebih kecil maknanya lebih besar daripada menegasikan yang lebih besar.
Kaidah 117: Penegasian kemampuan adakalanya berarti penegasian kekuatan dan kemungkinan, penegasian penghalang, atau kemungkinan terjadinya pekerjaan itu sangat sulit dan berat.
Kaidah 118: Semua masalah yang dikaitkan dengan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, penegasian terjadinya sangat kuat.
Kaidah 119: Penegasian sesuatu adakalanya diberi kaitan, sedangkan maksudnya penegasian mutlak. Maknanya untuk menunjukkan bahwa penegasian sangat kuat dan ditekankan sekali.
Kaidah 120: Menegasikan kelebihan tidak berarti menegasikan kesamaan.
Kaidah 121: Penegasian dosa tidak berarti menunjukkan kemestian (al-‘azimah), namun penegasian itu tidak berarti memestikan penegasian kelebihutamaan sebaliknya.
Kaidah 122: Menegasikan kehalalan menunjukkan keharaman.
Kaidah 123: Sesuatu terkadang dinafikan sama sekali karena tidak ada manfaatnya.
Kaidah 124: Menafikan dzat yang disifati adakalanya menafikan dzat dan sifatnya, adakalanya menafikan sifatnya saja.
Kaidah 125: Menafikan sesuatu apabila dimaksud untuk memuji, mengandung penetapan segala sesuatu yang berlawanan dengan yang dinafikan itu.
Bab XVI: Al-Istifham (Pertanyaan)
Kaidah 126: Istifham setelah disebutkan keburukannya lebih kuat lagi perintahnya daripada perintah meninggalkannya.
Kaidah 127: Istifham inkari mengandung arti nafy.
Kaidah 128: Bila Allah menginformasikan tentang Diri-Nya dengan kayfa, maknanya adalah pernyataan yang berisi peringatan atau kecaman terhadap yang disapa.
Kaidah 129: Jika hamzah istifham masuk ke lafaz “ra’aita”, maka kata itu tidak berarti melihat dengan mata atau hati tetapi maknanya “beritahulah aku”.
Kaidah 130: Bila huruf tanya masuk ke dalam kata kerja al-tarajji, maknanya adalah menegaskan apa yang akan terjadi dan menyatakan bahwa hal itu pasti terjadi.
Kaidah 131: Seluruh pertanyaan yang dikaitkan dengan tauhid rububiyyah adalah pertanyaan penegasan.
Bab XVII: Al-‘Am dan Al-Khash
A. Al-‘Am
Kaidah 132: Kata-kata ada yang makrifah dan ada yang nakirah. Setiap kata makrifah yang memiliki anggota-anggota maknanya umum. Dan setiap nakirah dalam paparan kalimat negatif, larangan, syarat, pertanyaan, atau penyebutan nikmat, maknanya umum, baik ia kata benda maupun kata kerja.
Kaidah 133: Hukum-hukum yang diungkapkan dengan kata-kata mudzakkar tanpa diikuti kata-kata mu’annats, hukumnya mencakup laki-laki dan perempuan
Kaidah 134: Tuntutan kepada salah seorang dari umat berlaku umum untuk yang lainnya kecuali terdapat dalil yang mengkhususkannya.
Kaidah 135: Al-Mafhum dengan kedua macamnya mengandung makna umum.
Kaidah 136: Bila Allah menggantungkan hukum atas dasar ‘illat, maka hukum itu ada bilamana ‘illat itu ada.
Kaidah 137: Tuntutan-tuntutan yang bersifat umum dalam Al-Qur’an mencakup Nabi saw., dan tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepada Nabi saw. mencakup umat, kecuali terdapat dalil lain.
Kaidah 138: Al-‘Am bila diiringi pengaitan dengan al-itstitsna’, sifat, atau hukum, dan hal itu hanya mencakup sebagian yang dikenai oleh al-‘am itu, maka apakah maksud al-‘am itu “sebagian” itu atau bukan?
Kaidah 139: Bila awal kalimat khusus dan akhir kalimat umum, maka kekhususan awalnya itu tidak menghalangi keumuman akhirnya.
Kaidah 140: Bila kata pemaroh berhimpun dengan jamak yang makrifah dengan alif lam atau idhafah atau jamak yang mengandung pembatasan (seperti kata-kata bilangan), maka jamak itu wajib dibawa kepada seluruh macamnya itu.
Kaidah 141: Berhadap-hadapannya jamak dengan jamak adakalanya berarti berhadap-hadapannya tunggal dengan tunggal, adakalanya berarti berhadap-hadapannya keseluruhan dengan seluruh individu, dan adakalanya mengandung dua kemungkinan yang memerlukan dalil yang menguatkan salah satunya.
Kaidah 142: Biasanya bila jamak berhadap-hadapan dengan mufrad hal itu tidak membuat mufrad menjadi umum. Namun adakalanya membuatnya menjadi umum karena keumuman jamak di hadapannya itu.
Kaidah 143: Berhadap-hadapannya mufrad dengan mufrad mengandung arti pendistribusian.
Kaidah 144: Patokan adalah umumnya lafaz bukan khususnya sebab.
Kaidah 145: Membuang tempat pengaitan memaknakan keumuman relatif.
Kaidah 146: Berita tetap pada keumumannya sampai terdapat yang mengkhususkannya.
Kaidah 147: Pernyataan sebab mutlak termasuk ke dalam ‘am.
Kaidah 148: Keumuman pada manusia memestikan pula keumuman pada situasi, waktu, tempat, dan segala yang berkaitan dengannya.
Kaidah 149: Keumuman makna hanya dipahami berdasar penggunaan yang diacu sesuai situasi dan kondisinya.
B. Al-Khash
Kaidah 150: Bila syarat, pengecualian, sifat, batasan, atau penunjukan dengan dzalika terdapat setelah kata-kata dan kalimat-kalimat yang bersambungan, semuanya kembali kepada keseluruhan itu, kecuali ada indikasi lain
Bab XVIII: Al-Muthlaq dan Al-Muqayyad
Kaidah 151: Pada dasarnya yang muthlaq itu tetap pada kemutlakannya sampai ada dalil yang menunjukkannya muqayyad.
Kaidah 152: Muthlaq itu dibawa kepada makna sempurnanya.
Kaidah 153: Bila muthlaq dimasuki dua kaitan yang berbeda dan dimungkinkan melakukan tarjih pada salah satunya, membawa muthlaq kepada yang terkuat wajib.
Kaidah 154: Muthlaq menghendaki kesetaraan.
Bab XIX: Al-Manthuq dan Al-Mafhum
A. Al-Manthuq
Kaidah 155: Bila Syari‘ mengiring hukum setelah pernyataan yang relevan, berarti bahwa adanya hukum itu karena adanya pernyataan tersebut.
Kaidah 156: Hukum yang dikaitkan pada keterangan, kekuatannya atau kelemahannya tergantung kekuatan atau kelemahan keterangan itu.
B. Al-Mafhum
Kaidah 157: Bila waktu sesuatu perlu diindahkan maka sesuatu itu lebih perlu lagi diindahkan.
Kaidah 158: Bila hukum disusun berdasarkan keterangan yang dapat dipertimbangkan, membuangnya tidak diperkenankan.
Kaidah 159: Adanya syarat tidak memestikan terjadinya peristiwa.
Kaidah 160: Hukum yang dipersyaratkan adanya dengan adanya salah satu dua hal, kebalikannya dipersyaratkan dengan tiadanya keduanya sekaligus. Dan setiap hukum yang dipersyaratkan adanya dengan adanya dua hal sekaligus, kebalikannya dipersyaratkan dengan tiadanya salah satunya.
Kaidah 161: Bila satu pihak dipuji, dicela, atau lainnya secara khusus, adanya mafhum-nya perlu diindahkan.
Kaidah 162: Penyebutan secara khusus—setelah adanya penunjukannya kepada umum—berarti pengkhususan pula hukumnya.
Kaidah 163: Menyatakan sesuatu tidak berarti meniadakan selainnya.
Kaidah 164: Penggabungan kalimat tidak berarti penggabungan hukum.
Kaidah 165: Penggabungan beberapa al-Asma’ al-Husna dalam Al-Qur’an menunjukkan bertambahnya kesempurnaan.
Kaidah 166: Konteks membantu memperjelas yang mujmal, menspesifikkan yang samar, memastikan yang tidak pasti, mengkhususkan yang umum, membatasi yang muthlaq, dan memvariasikan makna.
Bab XX: Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih
Kaidah 167: Al-Qur’an bisa dipandang muhkam seutuhnya, bisa mutasyabih seluruhnya, bisa pula sebahagian muhkam dan sebagian mutasyabih.
Kaidah 168: Ayat muhkam wajib diamalkan, ayat mutasyabih wajib diimani.
Kaidah 169: Makna lahiriah seluruh nash Al-Qur’an dapat dipahami oleh para mukhathab.
Bab XXI: Al-Nash, Al-Zhahir, Al-Mu’awwal, Al-Mujmal, dan Al-Mubayyan
A. Al-Nash
B. Al-Zhahir
C. Al-Mujmal
Kaidah 170: Kosakata Al-Qur’an—dari segi penunjukannya kepada makna yang dikandungnya—adakalanya berupa: (1) nash-nash yang hanya mengandung satu makna; (2) nash-nash yang mengandung bukan makna tekstualnya; (3) nash-nash mujmal (global) yang memerlukan penjelasan.
Kaidah 171: Al-Qur’an menjelaskan secara tuntas pokok-pokok agama, tetapi penjelasannya mengenai hukum, kebanyakan bersifat global.
Kaidah 172: Ta’wil yang membatalkan nash ditolak.
Kaidah 173: Mubham tidak boleh hukumnya dikembalikan kepada tafsiran berdasar logika.
Kaidah 174: Tafsir setelah mubham menunjukkan sesuatu yang hebat dan menakutkan.
Bab XXII: Al-Fawashil
Kaidah 175: Fashilah ditentukan berdasarkan tauqifi.
Kaidah 176: Makna dan maksud Al-Qur’an tidak akan diketahui tanpa mengetahui fashilah-nya.
Bab XXIII: Al-Ikhtilâf dan Al-Tadhârub
Kaidah 177: Bila kata-kata berbeda sedangkan tujuannya sama, maknanya tidak mesti berbeda.
Kaidah 178: Ayat-ayat yang diduga bertentangan masing-masing dipahami sesuai konteksnya.
Bab XXIV: Pengulangan dalam Al-Qur’an
Kaidah 179: Klaim pengulangan ada kalanya ditolak karena tempat pengaitan berbeda.
Kaidah 180: Pengulangan antara dua yang berdekatan tidak mungkin terjadi dalam Kitab Allah Swt.
Kaidah 181: Perubahan bentuk kata pasti mengakibatkan perubahan makna.
Kaidah 182: Pertanyaan mengenai sesuatu diulang untuk mengharapkan agar sesuatu itu tidak terjadi.
Kaidah 183: Pengulangan menunjukkan perhatian lebih.
Kaidah 184: Nakirah, bila terulang, menunjukkan berbilang, makrifah sebaliknya.
Kaidah 185: Bila persyaratan dan balasannya sama kata-katanya, itu menunjukkan hebatnya peristiwa.
Bab XXV: Mubham
Kaidah 186: Sesuatu yang mubham yang dinyatakan Allah bahwa hanya Dia-lah yang mengetahuinya tidak perlu lagi dicari tahu maknanya yang lain.
Kaidah 187: Pada dasarnya setiap yang mubham dalam Al-Qur’an tidak perlu dipaksa-paksakan untuk mengetahui maknanya.
Kaidah 188: Pengetahuan tentang mubham semata-mata tergantung riwayat, tidak ada tempat bagi rasio untuk mengetahuinya.
Bab XXVI: Naskh
Kaidah 189: Naskh tidak ada bila ada kemungkinan makna lain.
Kaidah 190: Naskh hanya berlaku pada ayat yang berisi perintah dan larangan, meskipun dengan lafal kalimat berita.
Kaidah 191: Klaim adanya naskh dalam Al-Qur’an terulang dua kali tidak dibenarkan.
Kaidah 192: Pada dasarnya naskh tidak ada.
Kaidah 193: Penambahan terhadap nash, apabila menghapus hukum syar‘i maka disebut naskh, namun jika menghapus hukum aqli tidak bisa disebut al-naskh.
Kaidah 194: Pembatalan bagian hukum atau syaratnya tidak membatalkan hukum dasarnya.
Kaidah 195: Semua yang wajib dilaksanakan dalam waktu tertentu, karena adanya ‘illat beralih mewajibkan hukum tersebut, kemudian ia beralih dengan beralihnya ‘illat kepada hukum yang lain, itu bukanlah naskh.
Bab XXVII: Munasabah
Kaidah 196: Kebanyakan ayat ditutup dengan Al-Asma’ Al-Husna untuk menunjukkan bahwa pesan ayat berkaitan dengan nama-nama agung itu.
Kaidah 197: Dua ayat atau kalimat yang berurutan, jelas atau tidak jelas hubungannya, keduanya pasti memiliki segi yang menyatukan.
Kaidah 198: Langkah-langkah umum untuk menemukan munasabah antara ayat-ayat dalam Al-Qur’an adalah mencari tujuan surah, membuat kesimpulan-kesimpulan sementara, menganalisis kesimpulan-kesimpulan sementara itu, dan menyusun kesimpulan final.
Bab XXVIII: Kaidah-Kaidah Umum
Kaidah 199: Dalil-dalil Al-Qur’an adakalanya dalam bentuk argumen-argumen rasional yang ditujukan baik kepada yang beriman maupun kepada yang tidak beriman, dan adakalanya dalam bentuk hukum-hukum taklifi yang ditujukan hanya kepada yang beriman.
Kaidah 200: Bila Allah mengaitkan pengetahuan-Nya kepada suatu perbuatan setelah perbuatan itu terwujud, pengetahuan-Nya itu dimaksudkan untuk menentukan balasan perbuatan tersebut.
Kaidah 201: Penjagaan-penjagaan makna dalam Al-Qur’an terdapat pada setiap tempat yang diperlukan.
Kaidah 202: Setiap pernyataan dalam Al-Qur’an pasti diiringi suatu ungkapan yang membenarkan atau menolak pernyataan tersebut.
Kaidah 203: Pernyataan-pernyataan dalam Al-Qur’an mengenai kisah umat-umat non-Arab pada abad-abad silam tidak dipahami maksudnya secara harfiah.
Kaidah 204: Penerapan dalil terhadap hukum berdasarkan faktual hukumnya dua macam: Pertama, penerapan primer tanpa memperhatikan faktor-faktor hukum tambahan. Kedua, penerapan sekunder dengan mempertimbangkan faktor-faktor hukum lainnya.
Kaidah 205: Dalil-dalil atas hukum adakalanya diperlakukan sebagai kebutuhan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sebelum terjadi atau setelah itu, dan adakalanya diperlakukan sebagai pendukung untuk menundukkan hukum agar sesuai dengan kemauan yang menggunakannya sebagaimana dilakukan kaum nafsu.
Kaidah 206: Al-Qur’an menyesuaikan pesan-pesannya dengan waktu, tempat, dan kondisi setempat berkenaan hukum-hukum yang berkaitan degan adat dan tradisi.
Kaidah 207: Setiap dalil syariat dalam Al-Qur’an yang masih bersifat umum dan belum ada penjelasannya dan batasan tertentu, ia dikembalikan kepada makna logis berdasarkan pikiran manusia. Dan setiap dalil yang sudah tertentu, sudah memiliki penjelasan dan batasan tertentu, ia dikembalikan kepada makna ta‘abbudi yang tidak boleh dimasuki oleh pikiran manusia.
Kaidah 208: Setiap perbuatan yang diperintahkan atau yang dilarang yang bersifat umum dan belum ada batasan dan aturannya, perintah atau larangan itu tidak sama intensitas hukumnya pada setiap unsur tindakan tersebut.
Kaidah 209: Tujuh upaya untuk menyelesaikan kemusykilan tafsir: (1) mengembalikan kata kepada lawannya; (2) mengembalikan kata kepada bandingannya; (3) memperhatikan informasi, syarat, atau penjelasan berbeda yang berkaitan dengannya; (4) petunjuk konteks kalimat; (5) mengkritisi makna asli teks-teks; (6) mengetahui sebab turunnya; (7) menghindari kontradiksi.
Kaidah 210: Bila sasaran perintah mampu dilaksanakan, perintah itu dilaksanakan sebagaimana mestinya; dan bila tidak, perintah itu dialihkan kepada akibatnya atau penyebabnya.
Kaidah 211: Bila Syari‘ mengharamkan suatu kategori yang belum dibatasi, itu berarti ia mengharamkan seluruh kategori untuk dihindari, atau ia mengharamkan kategori tertentu saja.
Kaidah 212: Selama firman Syari‘ dapat dibawa kepada ranah hukum, ia tidak boleh dibawa hanya kepada ranah berita.
Kaidah 213: Ungkapan keterpesonaan, di samping menunjukkan bahwa Allah menyenangi perbuatan itu, adakalanya juga menunjukkan kemurkaan-Nya, penolakan-Nya, dan tidak baiknya perbuatan itu. Atau hal itu menunjukkan bahwa Ia menolaknya secara halus dan bahwa mengerjakannya tidak baik.