Taufiq dan Hidayah

Kita sering dengar orang berdoa, “Semoga mendapatkan taufik dan hidayah.” Apa arti dan beda kedua kata populer ini?

Kata “hidayah” dengan berbagai derivasinya disebutkan sekitar 317 kali dalam Al-Qur’an.

Pada dasarnya, kata ini mempunyai arti “memberitahukan kepada orang lain, memberikan bimbingan dan petunjuk kepada orang lain dengan santun dan lemah lembut demi mencapai satu tujuan, menghilangkan kebingungan”.

Memberikan petunjuk kepada orang lain baik berupa hal-hal yang hissiyyâh (material) seperti memberi tahu tentang satu jalan yang harus ditempuh atau juga dalam bidang ma‘nawiyyah seperti memberi bimbingan kepada orang lain tentang suatu kebenaran (Lih. Mu‘jam Alfâzh Al-Qur’ân, Mesir, Dar asy-Syuruq).

Semua arti “hidayah” mempunyai konotasi positif yaitu memberikan petunjuk kepada hal-hal yang baik dan benar. Dengan demikian, fungsi Al-Qur’an sebagai kitab hidayah harus dilihat dari kacamata yang positif ini. Baca ayat 2 surah Thaha bahwa Al-Qur’an diturunkan bukan untuk mencelakakan seseorang, melainkan hanya memberikan peringatan bagi orang yang takut kepada Allah.

Secara garis besar, hidayah dalam Al-Qur’an terbagi dua bagian: [1] dalam arti “irsyâd” yaitu petunjuk kepada jalan lurus yang berupa tuntunan, bimbingan, dan peringatan, seperti nilai-nilai yang baik dan benar sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an yang kemudian ditindaklanjuti dalam hadis-hadis Nabi. Hidayah seperti ini bisa dilakukan oleh para nabi, ulama, dan para pencerah lainnya.

[2] dengan arti “taufîq” dan “i‘ânah” atau pertolongan dan kasih sayang Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya untuk bisa menerima kebenaran. Hidayah seperti ini hanya milik Allah semata.

‘Ibrah dan I‘tibâr

Tak satu pun dari peristiwa yang mengitari kita terlepas dari i‘tibâr. I‘tibâr berasal dari kata ‘ibr atau ‘ibrah, yang bermakna “jembatan penyeberangan”. Jadi, i‘tibâr bermakna “menjadikan sesuatu sebagai penyeberangan”. Jika peristiwa-peristiwa yang kita hadapi disebut sebagai i‘tibâr, maka peristiwa itu merupakan media yang menyampaikan kita kepada suatu pengetahuan, sehingga kita paham terhadap makna yang ada di balik peristiwa itu.

Kita sering menganggap sesuatu itu buruk, padahal dia tak lebih hanya sebagai i‘tibâr bagi kita agar kita memahami apa yang ada di balik itu. Misalnya, rasa sakit yang kita rasakan di kepala. Rasa sakit itu adalah i‘tibâr, karena dia adalah sebagai media yang menyampaikan kepada kita bahwa telah terjadi suatu kelainan pada kepala kita, sehingga kita berusaha untuk mengobatinya supaya sembuh. Laksana jarum-jarum petunjuk pada mobil yang berfungsi memberitahukan kepada pengemudi volume bahan bakar, oli, air, dan sebagainya.

Jadi, segala peristiwa yang mengitari kita merupakan isyarat bahwa ada suatu kelainan pada diri kita. Benarlah apa yang dikatakan oleh Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabî, sufi abad ke-7 H, bahwa manusia adalah miniatur jagat besar (makrokosmos) ini. Segala kualitas yang ada pada alam raya terdapat pula pada manusia. Oleh sebab itu, jika terdapat suatu kelainan pada diri manusia, dia akan cepat-cepat tahu melalui isyarat dari alam raya. Orang yang paling sukses adalah orang yang paling mengerti tentang isyarat itu. Akan tetapi, isyarat itu hanya dipahami oleh orang yang memiliki ketajaman mata hati dan ketajaman nalar.

Segala ibadah yang kita lakukan bertujuan untuk menjadikan kita orang bertakwa. Tentang puasa misalnya, Allah menegaskan:

Hai orang-orang yang beriman, difardhukan atas kamu melaksanakan puasa sebagaimana difardhukan atas orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa (al-Baqarah [2]: 183).

Dengan ketakwaan, kita akan mendapatkan kecerahan mata batin kita. Lalu, dengan mata hati yang tercerahkan itu kita mampu menjadikan segala sesuatu yang mengitari kita sebagai i‘tibâr, dapat membedakan yang benar dari yang batil dan yang baik dari yang buruk.

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberimu furqân dan menghapus segala kesalahanmu (al-Baqarah [2]: 183).

Yang dimaksud dengan furqân dalam ayat di atas—menurut ahli tafsir, al-Thabarî—ialah ketajaman dan kecerahan batin, sehingga seseorang mampu melihat yang benar itu benar dan yang salah itu salah, yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk.

Tanpa ketajaman dan kecerahan batin, kita tidak pernah dapat memetik i‘tibâr dari apa yang kita alami. Dalam dunia iptek yang serba canggih dewasa ini, kita sering berbangga dengan penemuan-penemuan mutakhir, kita berbangga dengan akal atau intelek. Memang akal memiliki kemampuan untuk menalar, berargumentasi, dan menarik kesimpulan. Akan tetapi, daya akal tidak dapat bekerja dengan baik tanpa kejernihan kalbu. Kita lihat sekarang, negeri yang kita cintai ini memiliki jutaan sarjana dan pemikir dalam berbagai bidang pengetahuan, tetapi tak banyak yang dapat memberikan solusi atas krisis yang sedang kita hadapi. Yang ramai adalah saling menyalahkan dan saling menjatuhkan. Ini tidak lain adalah karena kegelapan mata hati kita.

[Prof. Yunasril Ali]

Makar dan Kayd

Dalam Al-Qur’an terdapat dua kata yang diterjemahkan sama oleh banyak orang, “menipu daya”, yaitu kata مَكَرَ dan كادَ . Tidaklah mungkin dua kata yang berbeda diterjemahkan sama, karena konsepnya berbeda. Kata مَكَر konsepnya adalah “merencanakan secara rahasia upaya-upaya untuk tujuan mengalahkan”, seperti dalam Q. 8:30. Sedangkan كادَ adalah “merekayasa, memanipulasi, dan memolitiki sehingga yang menjadi korban rekayasa terjebak dan kalah”, seperti dalam Q. 12:5
Jadi, كادَ ‘merekayasa’ adalah implementasi dari مَكَر (merencanakan penjatuhan).

Istiqamah

Kata istiqamah berasal dari akar kata qaama-yaquumu-qiyaman, yang artinya tegak berdiri dan lurus. Kata ini kemudian ditambah kata ista, yang kemudian menjadi istiqamah, yang dalam kaidah bahasa Arab tambahan ista berarti ada unsur permohonan atau permintaan. Jadi dari segi bahasa, istiqamah artinya permintaan untuk selalu tegak berdiri atau lurus dalam melakukan sesuatu.

 

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ. نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’ Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.” (Surat Fushilat 41 ayat 30-31)

 

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ.

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Surat Huud 11 ayat 112)

 

Adapun dari hadis Rasulullah, ada beberapa riwayat yang berbicara tentang istiqamah, di antaranya:

”Di dalam Sahih Muslim disebutkan dari Sufyan bin Abdullah, dia berkata, Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam, sehingga aku tidak lagi bertanya lagi kepada seseorang selain Engkau.’ Rasulullah menjawab, ‘katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.’”

“Diriwayatkan dari Tsauban, bekas budak Rasulullah, mengatakan bahwa Rasul Bersabda: ‘Beristiqamahlah kamu, meskipun kamu tidak akan mampu melakukan sepenuhnya.’”
“Diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasul bersabda: Amalan yang paling disukai oleh Allah ialah yang istiqamah meskipun sedikit.”

Semoga kita bisa melakukan kebaikan secara istiqamah, sekecil apa pun kebaikan itu… Aamiin…

 

[KH Mukhlisin Aziez, MA]

 

Pesan-pesan di Balik Ritual Haji dan Idul Adha

Dimuat di NU Online pada Jumat, 01 September 2017

Sepuluh Dzulhijjah termasuk salah satu hari yang dimuliakan dalam agama Islam. Di antara bentuk penghormatan tersebut adalah pada hari itu umumnya umat Muslim berbondong-bondong menuju masjid atau tempat ibadah untuk bersama-sama mengagungkan Allah dengan cara membaca takbir, yang kemudian biasanya dilanjutkan dengan menyembelih hewan-hewan kurban. Di kalender Indonesia, pada tanggal 10 Dzulhijjah ada warna merah yang berarti hari libur: libur dari segala “kegiatan”, termasuk urusan keduniaan dan hal-hal lain yang tidak bermanfaat, sehingga bisa memfokuskan diri untuk lebih dekat kepada Allah. Masih banyak bentuk penghormatan lain dari setiap Muslim yang tersebar di seluruh penjuru dunia.

Buku “Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi” merupakan salah satu rujukan tentang pesan hikmah di balik ritual haji dan Idul Adha. Pada mulanya, hari yang juga disebut dengan Idul Adha ini dirayakan oleh kaum Muslimin yang telah selesai melaksanakan ibadah haji, sebagai puncak dari seluruh prosesi ibadah yang agung tersebut. Di mana pada hari itu, jemaah haji disunnahkan menyembelih hewan kurban untuk dibagikan kepada para fakir miskin (halaman 150), sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah ketika menunaikan ibadah haji.

Meskipun demikian, perayaan Idul Adha tidak hanya dikhususkan kepada mereka yang sedang menunaikan ibadah haji, umat Islam secara keseluruhan juga dianjurkan untuk merayakan hari raya kurban tersebut, dengan harapan mereka juga bisa memahami dan menghayati pesan-pesan yang tersirat dalam prosesi ibadah haji tersebut.

Dalam buku ini dijelaskan beberapa pesan yang terkandung dalam lima kegiatan ibadah haji, dimulai dari pertama, tawaf: mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Hal ini menjadi simbol dari perjuangan manusia untuk menuju satu titik fokus dengan cara menyatukan pikiran dan hati, sehingga pasrah sepenuhnya menuju satu titik dari mana mereka berasal dan ke mana mereka akan kembali.

Kedua, sa’i, berlari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah, sebagaimana dilakukan oleh istri Nabi Ibrahim dalam mencari air untuk sang anak tercinta yang baru dilahirkan, Nabi Ismail. Pelajaran berharga dari kisah ini adalah Tuhan memilih seorang perempuan yang bernama Siti Hajar, beliau adalah perempuan berkulit hitam, seorang budak belian dan berkasta (kelas) rendah. Masyarakat sekitar sering meremehkan dan merendahkan beliau, seperti yang dikatakan oleh pemikir kontemporer progresif dan seorang Ideolog dari Iran, Ali Syari’ati, “… tidak mempunyai kelas, tidak mempunyai ras dan tidak berdaya. Ia seorang yang kesepian, seorang korban seorang asing yang terbuang dan dibenci.” (halaman 158).

Melalui Siti Hajar, Tuhan menampakkan kepada kita semua bahwa manusia sungguh tak patut mencampakkan dan mendiskriminasi manusia lain hanya karena status sosial dan warna kulit. Selain itu, Tuhan memilih “tokoh” berjenis perempuan sebagai simbol bahwa tidak ada perbedaan antara antara laki-laki dan perempuan, Tuhan sedang menunjukkan bahwa manusia adalah sama di hadapan-Nya. Jauh lebih dari itu, Siti Hajar sebagai sosok yang sangat peduli terhadap kehidupan orang lain, beliau tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, tetapi juga untuk seorang anak manusia yang tak berdaya. Dengan ini, Tuhan mengajarkan kepada manusia tentang nilai-nilai dan sikap-sikap yang luhur dan mulia.

Ketiga, wuquf, berada di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah untuk berdzikir dan berdoa. Di mana pada saat itu, seluruh jemaah Haji dari berbagai negara, bahasa, suku, jenis kelamin, jabatan, pangkat, strata sosial, berkumpul bersama di bawah terik matahari dengan satu warna pakaian. Kedudukan mereka di hadapan Tuhan itu sama, apa yang mereka punya sebelumnya, apa yang mereka pakai sebelumnya serta simbol-simbol primordial yang selalu diagung-agungkan dan menjadi alasan kesombongan dan keangkuhan diri pada hari itu hilang lenyap, semuanya sama, sama-sama tidak punya apa-apa. Selain itu, wuquf di Arafah juga sebagai gambaran “kehidupan” kelak di hari kiamat, berkumpul di padang Mahsyar seraya bersama-sama menunggu keputusan Allah akan nasib selanjutnya.

Keempat, jamarat, melemparkan batu di tiga tempat di Mina, masing-masing tujuh kali. Di tempat itu mereka tidak menemukan setan atau lawan yang akan mereka lempar pakai batu, hal ini mengajarkan kepada kita bahwa sesungguhnya yang mereka lempar itu adalah nafsu setan dan kebinatangan yang terdapat dalam diri mereka masing-masing atau dengan kata lain jamarat sebagai simbol perjuangan manusia untuk membersihkan hati dengan melemparkan sifat-sifat ego yang sebelumnya menjadi teman baiknya. Kelima, kurban. Selain untuk bersedekah, menyembelih hewan kurban juga sebagai simbol perjuangan manusia mewujudkan solidaritas social-ekonomi demi kesejahteraan bersama (halaman 172).

Kelima hal tersebut di atas selayaknya memang menjadi “pakaian” para jemaah haji ketika sudah pulang ke kampung halaman masing-masing, agar mereka benar-benar seperti seorang bayi yang baru dilahirkan, tidak punya dosa. Selain itu, umat Islam secara umum yang akan merayakan Hari Raya Idul Adha juga seharusnya mampu menangkap serta berusaha untuk mempraktikkan pesan-pesan yang tersirat dalam prosesi ibadah haji, walaupun mereka belum menginjakkan kaki di Tanah Suci.

 

Peresensi adalah Saiful Fawait, mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Sumenep, Jawa Timur.


Data Buku

Judul         : Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi
Penulis      :  K.H. Husein Muhammad
Cetakan     : 1, Maret 2017
ISBN          : 978-602-60244-5-9
Tebal          : 225 Halaman

Menyelami Kisah Samudera Kasih Auliya

Dimuat di Media Jatim pada 8 Agustus 2017

 

Mencintai sesuatu secara berlebihan tanpa disertai ilmu pengetahuan, akan menjadikan seseorang lupa segala hal. Perhatian akan senantiasa tertuju pada satu titik, yang dicintainya. Ia akan rela melakukan apa saja demi menggapai cintanya. Akan rela mengorbankan segalanya, demi memenuhi nafsu cintanya. Apalagi, jika yang dicintainya tersebut adalah dunia. Harta dan tahta misalnya. Terlalau mencintai dunia akan membuat seseorang lupa pada kehidupan yang lebih kekal nanti, akhirat. ia akan disibukkan untuk selalu memenuhi keinginan dunianya.

Dalam Islam, tergila-gila pada dunia tentu sangat tidak diperbolehkan. Bahkan, umat manusia dianjurkan untuk snantiasa bersikap zuhud terhadap dunia. Artinya dunia hanya dijadikan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup semata. Tidak sampai pada tingkat mencintai dan ingin selalu memiliki harta dunia sebanyak-banyaknya.

Terkait dengan zuhud, manusia yang hidup di zaman modern seperti sekarang ini sangat jarang untuk bersikap zuhud pada dunia. Sebab, dunia dan seisinya yang begitu menarik perhatian ini terkadang menggoyahkan iman mereka untuk tidak memilikinya. Bahkan sampai-sampai manusia rela melakukan apa saja demi memenuhi hawa nafsunya terhadap dunia.

Kita seyogyanya patut berintospeksi diri terhadap tindak-tanduk sehari-hari kita. Tentang bagaimana kita bersikap terhadap teman yang sedang butuh bantuan. Tentang bagaimana kita memposisikan diri sebagai hamba Allah yang seharusnya selalu mengerjakan titah dan menjauhi larangan-Nya. Tentang bagaimana kita dalam memperlakukan makhluk lain yang tidak mempunyai daya lebih daripada kita. Apakah kita hanya akan berlaku semena-mena seenak perut selama mempunyai kekuatan dan kekuasaan?

Nah, buku rakitan Muhammad Khalid Tsabit ini mungkin menjadi salah satu alternatif cara untuk melakukan introspeksi. Buku yang merupakan kumpulan kisah para auliya (kekasih Allah) ini berisi tentang kejadian-kejadian menggetarkan yang pernah dialami oleh mereka. Pada halaman pertama buku ini, kita akan disuguhi kisah Hatim al-Ashamm (Hatim “Si Tuli”) yang mana julukan al-Ashamm ini disandang karena terjadi suatu peristiwa indah yang mengharukan (raqiqah jamilah).

Kala itu, Hatim sedang mengajar di ma jelisnya. Seorang perempuan datang mnemuinya untuk bertanya. Di tengah percakapannya dengan Hatim, tiba-tiba bunyi keras kentut keluar darinya. Merahlah muka perempuan itu karena malu yang tak tertangguhkan. (hal. 22)

Dan inilah sikap sang auliya untuk menutupi rasa malu si perempuan. Hatim malah memegang kedua telinganya  sembari berkata: “Keraskan suaramu, aku tak dapat mendengar ucapanmu! Tolong keraskan ucapanmu!”

Mendengar pernyataan Hatim, si perempuan kemudian kembali normal seperti sedia kala. Karena dia mengira kalau Hatim memang tidak mendengar suara kentut yang begitu kerasnya tersebut. Betapa luhur budi pekerti Hatim demi menjaga perasaan si perempuan. Hingga kemudian Hatim terkenal dengan julukan al-Ashamm seperti yang kita kenal sekarang.

Adapun cara penulisan kisah auliya yang dikelompokkan secara tematik sangat memudahkan pembaca untuk mengetahui makna yang tersirat dari kisah yang sedang dibaca. Seperti kisah para kekasih Allah tentang kezuhudan beliau. Yaitu kisah dari Abu al-Abbas al-Munaji yang hanya mencari seikat kayu bakar setiap hari dan menjualnya untuk memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga, dan para muridnya.

Suatu ketika saat Abu al-Abbas mencari kayu bakar seperti biasa, tiba-tida datang seorang laki-laki menemuinya dan bermaksud untuk memberikan sekantong uang. Si laki-laki tersebut memaksa Abu al-Abbas untuk menerima uang tersebut meskipun sudah berkali-kali Abu al-Abbas menolaknya. Kemudian Abu al-Abbas berkata: “Sesungguhnya Allah menjaga para kekasihnya dari dunia. Dan Allah telah mencukupkanku dengan seikat kayu bakar di atas kepalaku ini. salah seorang hamba Allah bisa saja berkata kepada seikat kayu bakar ini, jadilah kamu emas! Dan ia pun akan menjadi emas.” (hal. 72). Benar saja, seikat kayu bakar yang dikumpulkan Abu al-Abbas seketika itu juga berubah menjadi emas berkilauu. Padahal Abu al-Abbas tidak benar-benar bermaksud untuk merubahnya.

Melalui satu kisah Abu al-Abbas ini, dapat kita pahami bahwa sebenarnya harta dunia memang tidak berguna jika berlebihan. Apalagi sampai kita tergila-gila padanya. Mayoritas manusia terkadang selalu merasa tidak puas dengan apa yang telah dimilikinya. Jika sudah mempunyai tempat tinggal yang bagus, maka akan berusaha untuk bisa mendapatkan mobil. Apabila sudah mendapatkan keduanya, maka tetap akan merasa kurang. Menambah koleksi mobilnya misalkan. Sama sekali akan sulit merasa cukup terhadap hak miliknya. Padahal Allah telah mencukupkan sesuatu yang kita miliki sesuai dengan kebutuhan kita.

Oleh sebab itu, meneladani kisah-kisah para auliya tentu menjadi suatu keharusan bagi kita untuk tahu bagaimana kita bersikap terhadap dunia yang fana ini. Mengidolakan mereka tentu lebih baik pula berguna daripada mengidolakan orang-orang yang tidak jelas kelakuannya. Karena hal itu akan berdampak terhadap keimanan kita kepada Allah. Pun kecintaan kita terhadap-Nya dan sesuatu yang telah dititahkannya akan bertambah.

Adapun membaca kisah-kisah tentang kasih para kekasih Allah yang tertuang dalam buku ini menjadikan kita sadar tentang posisi kita sebagai hamba Allah. Mengingat tentang betapa ikhlas mereka dalam beribadah, bershadaqah, memperlakukan makhluk Allah dengan begitu baiknya, sama halnya dengan memberikan peringatan bagi diri penulis sendiri, betapa masih banyak hal-hal yang harus diperbaiki dan disempurnakan. Betapa mereka dalam melakukan suatu kebajikan semata disandarkan keikhlasan hanya karena Allah semata. Hanya karena mencintai-Nya. Sungguh tak satupun kisah dalam buku ini yang pernah penulis lakukan dengan begitu sempurnanya. Selamat membaca dan selamat berintrospeksi diri!

Guluk-guluk, 06 Nopember 2016

 

DATA BUKU

Judul: Qisasul Auliya (Kisah Para Kekasih Allah); Rampai Teladan-Kehidupan yang Menggetarkan Hati

Penyusun: Muhammad Khalid Tsabit

Penerbit: Qaf Media Kreativa

Terbitan: Cetakan I, 2016

Tebal Buku:  347 halaman

ISBN: 978-602-73761-7-5

Soal Puasa, Potong Kuku dan Rambut pada Awal Dzulhijjah

Assalamualaikum wr wb,

Hari-hari ini ada 2 masalah yang paling banyak ditanyakan oleh umat. Mereka bingung karena banyaknya postingan yang berbenturan.

Oleh karena itu PP IPIM (Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Imam Masjid) merasa perlu untuk memberi penjelasan singkat sebagai berikut:

  1. Soal puasa tgl 1-8 Dzulchijjah (23-30 Agustus 2017), itu termasuk puasa bulan-bulan haram (اشهر الحرم), hukumnya sunnah dan bagus, berdasar hadis shahih Muslim dll. Sedang puasa tgl 9 Dzulchijjah (31 Agustus 2017) sudah amat masyhur, sbg puasa Arafah. Untuk tgl 10-13 Dzulchijjah (1-4 September 2017) diharamkan berpuasa (krn hari Nachar dan hari Tasyriiq).

 

  1. Mengenai larangan memotong rambut dan kuku mulai tgl 1-9 Dzulchijjah, para fuqaha’ berbeda pendapat sbb:
  • menurut jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih), larangn itu bukan berakibat hukum haram melainkan makruh saja. Bahkan menurut fuqaha’ Hanafiyyah memotong rambut dan kuku tsb hukumnya mubach (boleh), bukan makruh, apalagi haram.
  • ada fuqaha’ yang berpendapat, bahwa yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku orang yang akan berqurban.
  • banyak pula yang berpendapat, bahwa yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku hewan qurban.

Demikian, semoga umat menjadi tenang dalam beribadah dan tidak terganggu lagi dengan postingan2 yang berlawanan.

Lebih jelas bisa dibaca buku FIQIH KONTEMPORER (oleh Ahmad Zahro)

Terimakasih dan mohon maaf. Semoga bermanfaat…aamiin.

Wassalamualaikum wr wb,

Ahmad Zahro
Ketum PP IPIM

http://www.youtube.com/c/azahroofficial

Belajar dari 100 Kisah Inspiratif

Dimuat di NU Online pada Jumat, 8 Juli 2017

 

Ada yang mengatakan bahwa kisah merupakan cermin bagi hidup seseorang. Sebuah kisah akan menyajikan berbagai hal yang sudah terjadi di masa lampau. Ada banyak kisah perjalanan hidup seseorang yang diabadikan, baik itu kisah sedih, susah, bahagia, senang, dan lain sebagainya, sehingga dengan adanya kisah tersebut kita bisa mengambil pelajaran atau ibrah untuk kebaikan kehidupan kita pada saat ini. Layaknya sebuah cermin, kisah akan membantu kita untuk menampilkan atau memperlihatkan konsekuensi yang akan kita terima sebab adanya suatu sikap atau keputusan yang kita ambil.

Dari berbagai kisah yang ada, baik yang tertulis maupun yang tidak, itu merupakan cerminan bagi kehidupan kita saat ini. Dalam Al-Qur’an misalnya, Allah telah memastikan untuk mengabadikan jasad Firaun di dunia, agar orang-orang yang hidup setelahnya bisa mengambil pelajaran dari kisah perjalanan hidup sang raja zalim tersebut, sehingga mereka tahu bahwa jika berbuat kejahatan di muka bumi maka hasilnya akan seperti ini, dan begitu pun sebaliknya.

Ada beberapa kisah yang diabadikan dalam Al-Qur’an, kisah orang-orang yang baik dan ada juga kisah orang-orang jahat yang berujung pada sebuah penyesalan, hal ini menandakan bahwa sebuah kisah amatlah penting sebagai bahan koreksi diri. Selain dalam Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi juga banyak menampilkan berbagai macam kisah yang dialami oleh Nabi sendiri ataupun para sahabatnya. Bisa dikatakan bahwa hadits itu sendiri merupakan kisah agung yang sangat patut untuk kita ketahui dan pelajari.

Dalam buku Setan Pun Hafal Ayat Kursi disajikan lebih dari 100 kisah yang dituturkan oleh Rasulullah, para sahabat, dan orang bijak, yang dihimpun dari hadits, kitab-kitab karya ulama klasik, dan sebagian dikutip dari manuskrip (makhtuthat) yang belum diterbitkaan, sehingga menjadikan kisah ini penuh hikmah, sarat makna, dan sangat bermanfaat. Tidak sembarang kisah yang penulis sajikan di buku ini, karena yang diambil hanya teks-teks yang mu’tamad, dihimpun dari 150 kitab klasik yang masih jarang kita temui, sehingga penghimpunan pun berlangsung lama.

Setidaknya-tidaknya ada delapan bab (kisah) yang penulis hadirkan di sini, di antaranya ada yang khusus mengisahkan tentang bahayanya durhaka atau menyakiti hati orang tua. Dalam satu riwayat yang diceritakan oleh Awam bin Hausyab, suatu ketika selepas Ashar ia lewat di sebuah area kuburan, tiba-tiba ada satu kuruban yang terbelah dan muncullah mayat laki-laki berbadan manusia dan berkepala keledai dari dalam kuburan, kemudian dia meraung tiga kali persis raungan keledai. Setelah ditelusuri ternyata semasa hidupnya dia selalu minum arak (mabuk-mabukan), dan ketika dinasihati oleh ibunya ia membentak dan menganggap ibunya sama seperti keledai (halaman 130).

Begitu pun dengan riwayat Malik bin Dinar, ia berkata, suatu ketika nabi beserta keluarganya melewati kuburan Baqi, seketika itu beliau mendengar suara orang meminta pertolongan dari dalam kuburan, setelah dihampiri tiba-tiba kuburan itu terbelah dan keluarlah mayat seorang pemuda dengan muka yang sangat hitam dan seluruh tubuhnya diikat dengan tali-tali dan rantai besi. Si mayat mengaku bahwa ia menjadi demikian karena ibunya tidak meridhainya, lantaran ia pernah menyakiti dan melemparkan ibunya ke dalam tungku, karena ia lebih berpihak dan membela istrinya yang sedang mendapat perlakuan kurang baik dari ibunnya (halaman 160).

Dari penggalan dua kisah tersebut, kita bisa mengambil ibrah bahwa kita wajib berbakti kepada kedua orang tua, dan sangat tidak pantas untuk membentak dan apalagi menyakiti hatinya, karena hal ini berkaitan dengan keadaan kita setelah meninggal dunia. Keridhaan orang tua sangat kita harapkan karena akan mengantarkan kita ke jalan yang lebih baik, di dunia maupun di akhirat. Mungkin ketika masih di dunia, kita tidak merasakan apa-apa walaupun kita sering durhaka kepada orang tua, bahkan kita merasa lebih puas, sehingga perbuatan jelek terhadap orang tua terus kita tingkatkan, mulai di rumah kita sendiri hingga ke pengadilan.

Buku ini hadir sebagai cermin bagi setiap perbuatan kita, sebuah cermin yang akan menampakkan konsekuensi-konsekuensi yang akan kita tanggung sebagai balasan dari apa yang telah kita perbuat. Para pembaca bisa mengambil banyak hikmah dari setiap rentetan kisah yang tersaji dengan bahasa yang sangat ringan, renyah, dan mengalir seperti air. Judul yang diletakkan di sampul depan, “Setan Pun Hafal Ayat Kursi”, diambil dari satu kisah yang ada dalam buku ini, dan pada bab terakhir (bab delapan) diulas tuntas perihal setan dan sekutunya, juga perbedaannya dengan jin dan iblis, dijelaskan pula tentang keutamaan Ayat Kursi, yang salah satunya dapat mengusir setan.

Data Buku
Judul        : Setan pun Hafal Ayat Kursi: 100 Kisah Penyegar Iman
Penulis        : Aep Saepulloh Darusmanwiati
Penerbit     : Qaf
Cetakan     : 2016
ISBN         : 978-602-73761-2-0
Tebal         : 341 halaman

Peresensi, Saiful Fawait, adalah mahasiswa Istitut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk, Sumenep

 

https://www.nu.or.id/post/read/79403/belajar-dari-100-kisah-inspiratif

Cara Mudah Memahami Intisari Al-Qur’an

Dimuat di NU Online pada Jumat, 18 Agustus 2017

 

Bagi sebagian orang, memahami kandungan al-Qur’an masih terasa sulit dan bahkan tidak tahu sama sekali. Islam menganjurkan dan mewajibkan umatnya untuk mengamalkan pesan yang terkandung dalam al-Qur’an, tapi bagaimana cara umatnya untuk menyerap pesan-pesan al-Qur’an, sedang mereka tidak mempunyai kemampuan dan keahlian, tidak pernah mengenal ilmu-ilmu alat (nahwu-sharraf) sebagai pintu masuk untuk membuka pemahaman tentang al-Qur’an.

Untung saja ada terjemahan al-Qur’an versi bahasa Indonesia, sehingga sebagian orang bisa membaca arti al-Qur’an walaupun tidak sampai pada pemahaman secara terperinci. Ahsin Sakho Muhammad, seorang pakar dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an mencoba membantu para penyuka al-Qur’an agar mereka lebih mengerti dan paham tentang kandungan al-Qur’an lewat bukunya yang berjudul Oase Al-Qur’an: Penyejuk Kehidupan.

Dalam buku ini dijelaskan tentang kriteria, kelompok, dan golongan orang-orang yang disayang Allah, benar-benar menjadi hamba-Nya yang memperoleh kebahagiaan dunia-akhirat. Pada surah al-Ahzab ayat 35 misalnya, di sana tertera 10 kelompok yang akan mendapat ampunan dan berhak memegang tiket ke surga. Di antaranya adalah orang yang senang bersedekah kepada yang membutuhkan, ikhlas karena Allah tanpa mengharap pujian dan balasan. Kelompok lain yang mempunyai tiket ke surga adalah mereka yang gemar berpuasa, baik puasa sunnah dan apalagi puasa wajib (halaman 46).

Sikap kedua kelompok tersebut selayaknya memang harus tertanam dalam diri setiap Muslim. Keduanya mencakup hubungan horizontal dengan sesama dan hubungan vertikal dengan Allah. Menolong sesama, terutama kepada para kerabat dan tetangga sekitar, merupakan salah satu langkah yang sangat baik untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, damai, dan sejahtera.

Orang-orang yang sering menolong dan membantu tetangga dekatnya akan lebih disenangi daripada mereka yang enggan mengulurkan tangan. Penilaian dan respons masyarakat pun akan berbeda, sehingga orang yang suka menolong dan hidup bersosial bisa dikatakan mempunyai peluang untuk hidup lebih nyaman di tengah-tengah masyarakat dibandingkan mereka yang hidup secara individualis.

Begitupun dengan orang-orang yang berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya, mereka juga mempunyai peluang untuk hidup bahagia di alam akhirat kelak. Mendekatkan diri kepada Allah bisa ditempuh dengan berbagai hal, salah satunya bisa dengan memperbanyak puasa sunnah seperti yang dilakukan oleh para sufi. Menurut sebagian sufi, puasa yang dilakukan secara terus-menerus pada akhirnya akan dapat menghilangkan nafsu yang jelek, yang ada hanyalah kesucian hati dan kejernihan pikiran. Jika sudah demikian, kebahagiaan itu tidak hanya terjadi di akhirat kelak, tetapi sudah mulai hadir sejak di dunia.

Kedua sikap terpuji di atas juga tertera dalam surah al-Baqarah ayat 1-5, di sana dijelaskan tentang lima sifat yang mencakup hubungan kita dengan Allah, dan hubungan kita terhadap sesama. Pertama, aspek akidah (iman terhadap hal-hal gaib, kitab-kitab suci, dan hari akhir); kedua, syariah (hubungan vertikal dengan Allah [shalat] dan hubungan horizontal dengan sesama [infak]).

Aspek akidah dan syariah yang tercantum dalam surah al-Baqarah: 1-5 ini oleh penulis disebut sebagai inti ajaran Islam (halaman 32). Siapapun yang berhasil melaksanakan kedua aspek tersebut dengan baik dan ikhlas, ia mempunyai peluang untuk menjadi hamba Allah yang akan hidup bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam buku ini kita akan menemukan beberapa potongan ayat yang bisa menenteramkan suasana hati, menjernihkan pikiran, serta menyejukkan kehidupan. Kita diajak untuk menjadi seorang mukmin yang cerdas secara mental, sosial, moral, dan spiritual, sehingga bisa menyejukkan hati sendiri maupun orang lain.

Setiap bab hanya berisi satu pokok bahasan, yang didahului dengan beberapa potongan ayat al-Qur’an dan kemudian diberi poin-poin penting yang dikandung oleh ayat tersebut. Poin-poin tersebut tidak terlalu panjang, ringkas, dan padat, langsung pada inti maksud dari ayat yang bersangkutan, sehingga hal demikian tidak terlalu membingungkan bagi mereka yang awam dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an.

 

 

Data Buku

Judul             : Oase Al-Qur’an: Penyejuk Kehidupan

Penulis          : Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad

Penerbit        : Qaf

Cetakan         : 1, 2016

ISBN              : 978-602-1337-35-6

Tebal              : 346 Halaman

Peresensi      :  Saiful Fawait, Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Sumenep, Jawa Timur.

 

https://www.nu.or.id/post/read/80538/cara-mudah-memahami-intisari-al-quran

 

 

MENGENAL PRIBADI MUSLIM DALAM AL-QURAN

Al-Quran adalah kalam Allah yang agung, diturunkan kepada umat manusia untuk menolong mereka dari belenggu kegelapan (jahiliyah) menuju cahaya kesalamatan (Islam), Al-Quran adalah jalan yang lurus, undang-undang yang paling moderat dan absah, sumber segala kebahagiaan, risalah Allah yang abadi, mukjizat Allah yang kekal, rahmat Allah yang paling luas, di dalamnya terkandung hikmah-hikmah kehidupan yang begitu bijaksana dan nikmat Allah yang luar biasa. Al-Quran adalah inti syariah, tiang agama, kitab panutan umat, cahaya kearifan.

Al-Quran adalah jalan yang mampu mengantarkan umat manusia pada Tuhan semesta alam (Allah), kendaraan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Quran adalah hujah Rasulullah saw. yang tak terbantahkan, kitab pedoman Islam yang paling komplit, meliputi; akidah, ibadah, hukum, sastra (linguistik), akhlak, etika dan moral, kisah-kisah (al-qisasu), peringatan, ilmu pengetahuan (al-Ayat al-Kauniyah), berita (al-anba’), petunjuk, dan dalil kebenaran Islam. Al-Quran adalah cahaya pencerahan, Al-Quran bak telaga bagi yang haus hidayah dan kasih sayang-Nya, Al-Quran adalah pusat segala kebajikan, yang tidak pernah kering sepanjang masa.

Al-Quran adalah kitab istimewa, satu-satunya kitab yang mampu memberi pertolongan kelak di hari kiamat bagi yang membaca dan mempelajarinya, dalam satu Hadits dikatakan, “Bacalah Al-Quran, sesungguhnya dia akan datang di hari kiamat memberi pertolongan kepada orang yang berpegang teguh kepadanya”.

Al-Quran adalah kitab multidimensi, selain berposisi sebagai petunjuk bagi umat manusia dan memberi pertolongan (syafaat) kelak di hari kiamat, Al-Quran juga berfungsi sebagai obat (syifa’) bagi segala macam penyakit, baik penyakit luar (dhahir) atau dalam (bathin). Dalam satu ayat disebutkan, “Aku turunkan Al-Quran sebagai obat dan kasih sayang bagi orang-orang yang beriman”, dalam ayat lain juga disebutkan, “ingatlah, dengan menyebut nama Allah hati akan tenang”. Hal demikian dapat kita saksikan dalam kehidupan nyata, di mana dewasa ini, banyak orang yang memilih menyembuhkan penyakitnya melalui pengobatan alternatif, yaitu peraktek ruqqiyah (living Al-Quran), yang sebenarnya peraktek pengobatan tersebut  ada sejak masa Rasulullah dan sahabatnya, tapi sampai saat ini masih relevan. Al-Quran adalah pangkal ibadah, mengamalkannya adalah ibadah, mempelajarinya termasuk ibadah, merenungi kandungannya berbuah ibadah, bahkan membacanya pun adalah ibadah, dalam satu Hadits disebutkan, “sebaik-baiknya kamu sekalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Quran”. Dalam riwayat lain juga disebutkan, “Barang siapa yang ingin berkomunikasi dengan Allah maka bacalah Al-Quran”. Kendatipun demikian, Al-Quran hanyalah Al-Quran, yang akan diam dan tidak berfungsi apa-apa, jika tidak dikaji, diteliti dan dipelajari secara saksama. Pertanyaannya sekarang, sebagai muslim, bagaimana seharusnya kita? Seperti apa kriteria muslim dalam Al-Quran?

Kehadiran buku ‘Oase Al-Quran Penyejuk Kehidupan’ karya Dr. K.H. Ahsin Sakho Muhammad adalah jawabannya. Beliau adalah salah satu ulama, hafiz sekaligus intelektual muslim yang mempunyai perhatian dan kepedulian lebih terhadap Al-Quran, keseharian hidupnya dihiasi dengan Al-Quran, mulai sejak kecil sampai sekarang. Selain aktif di berbagai Organisasi Tahfiz Al-Quran internasional, beliau juga sebagai Dosen di UIN Syarif Hidayatullah, sekretaris Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran kementerian Agama RI, pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Quran, dan Dewan penasehat di PP. Dar Al-Tauhid di Arjawinangun, Cirebon. (hlm.07-08).

Buku ini mengandung 100 oase qurani yang begitu dahsyat, menghimpun ayat-ayat Al-Quran pilihan yang menjelaskan karakter orang beriman yang sungguh menyejukkan hati, tak tampak kekerasan, yang ada hanyalah sifat manusia cerdas secara mental, sosial, moral, dan spiritual, dan saleh penuh etika. Pertama, sebagai muslim sepatutnya kita berkhidmat pada Al-Quran, yaitu mempelajari, memperhatikan dan mengamalkan ajaran-ajaran Al-Quran dengan niat tulus dan hati ikhlas, yang demikian membuat Allah senang, otomatis  Allah juga menyenangkan kita dengan cara Allah sendiri (hlm 09).

Mukmin yang ideal dalam buku ini, yaitu mereka ketika disebut nama Allah hatinya tergetar karena ingat kekuasaan-Nya, janji dan peringatan-Nya, ketika diperdengarkan ayat-ayat Allah keimanannya bertambah, memasrahkan hasil akhir dari satu pekerjaan dan keadaan hanya kepada Allah, melaksanakan shalat sesuai dengan ketentuannya, dan senang menginfakkan hartanya. Pada prinsipnya mukmin yang disenangi Allah yaitu mukmin yang suasana hatinya patuh kepada Allah, kemudian mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, mukmin yang demikian  yaitu mukmin yang selalu memberi kemanfaatan kepada orang lain. Allah sangat senang pada hal tersebut (hlm. 73-74).

Hal yang juga cukup memikat dalam buku ini, yaitu wasiat Al-Quran ternyata tidak melulu menitikberatkan pada aspek vertikal (Allah) saja, tetapi aspek horizontallah yang juga tidak kalah penting, seperti berkata santun, menakar dengan benar, menimbang dengan jujur, memberikan hak kerabat, bersikap sopan, dan lain-lain, sehingga baiknya keislaman seseorang tidak cukup hanya dengan ibadah mahdah (murni) saja, tetapi berupaya bagaimana ibadah tersebut membawa perubahan pada sikap kita, yaitu sikap peduli kepada orang lain, karena ibadah formal hanya untuk kemaslahatan diri sendiri, sementara ibadah sosial bermanfaat pada banyak orang. Inilah inti ajaran Islam yang sebenarnya, agama yang menebarkan kemanfaatan pada banyak orang (hlm. 41-42).

Kemudian ciri ibadurrahman yang di sampaikan dalam Al-Quran yaitu hamba Allah yang menegakkan keadilan secara totalitas, dengan menciptakan stabilitas di masyarakat, berlaku bijak, memaafkan yang salah dan membalas kebaikan dengan yang lebih baik lagi, menjunjung tinggi perdamaian, tidak suka permusuhan dan perpecahbelahan, selalu mengalah demi kebaikan. Tetapi punya prinsip dalam memegang kebenaran, kecerdasan spiritual dan emosianalnya terasah, yang demikianlah prototipe muslim yang dibanggakan Allah (hlm. 45).

Buku ini adalah buku wajib bacaan umat Islam, sangat luar biasa, menarik, melalui buku ini pesan Al-Quran sangat mempesona, begitu dekat dan akrab, sangat gamblang, hati selalu terenyuh untuk selalu mengulang dan membacanya lagi dan lagi, benar-benar menyejukkan. Selamat memiliki!

 

Judul: Oase Al-Quran Penyejuk Kehidupan

Pengarang: Dr. K.H. Ahsin Sakho Muhammad

Tebal: 268 hlm

Penerbit: Qaf Media Kreativa

Cetakan: Cetakan I, 2017

ISBN: 978-602-60244-0-4

Peresensi: Imam Fauroni*

 

 

*Alumni PP Annuqayah Lubtara dan INSTIKA Guluk-guluk Sumenep

Aktif di Komunitas Sufi Muda Pesantren